Pilihan +INDEKS
Rantau Baru, Kampung Tua yang Dibiarkan Terancam Hilang

PANGKALANKERINCI (Sunting.co.id) - Namanya Rantau Baru, sebuah desa yang berada di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Hanya namanya saja Desa Baru, tapi secara kesejarahan, ia merupakan kampung tua yang sudah ada sejak ratusan tahun silam.
Lokasinya tidak jauh dari Pangkalan Kerinci, ibu kota Kabupaten Pelalawan, Hanya sekitar 11 hingga 12 kilometer. Untuk sampai ke desa ini, harus melalui jalan koridor utama PT RAPP. Sekitar 8 kilometer, belok kiri, lalu agak turun ke bawah. Lurus terus. Sekitar 3 kilometer kemudian, sampailah ke kampung tersebut.
Jalan kampung itu terlihat pernah disemenisasi. Masih ada sisa-sisa semennya, tapi sudah hancur. Bahkan ada yang kembali menjadi jalan tanah. Antara permukaan jalan sama tinggi dengan permukaan anak sungai di sampingnya. Airnya hitam legam. Maklum tanah redang alias gambut. Sedang di kanan kiri jalan dan sungai ini, terlihat hamparan sangat luas. Rawa. Tidak ada satupun pohon di sana, kecuali ilalang sepanjang mata memandang dan beberapa sisa akar sebesar rumah yang tumbang dan menjadi arang. Sebagian kecilnya ada kebun kelapa sawit yang hidup segan mati tak mau.
Saat musim hujan dan Sungai Kampar meluap, kawasan ini banjir hebat. Jalan dan hamparan luas itu menjadi lautan. Masyarakat keluar kampung menggunakan perahu mesin. Jangankan saat banjir besar, air sungai menutup jalan saja dan tidak bisa dilewati, anak sungai kecil menjadi satu-satunya jalur yang bisa dilakukan perahu untuk sampai di jalan koridor.
Malako Kocik
Rantau Baru dulunya bernama Dusun Toghok atau Dusun Tuo. Lalu berubah menjadi Malako Kocik. Kampung itu berada di seberang sungai. Tempat bertanam padi juga. Karena sesuatu dan lain hal, kampung itu berpindah ke tempat Desa Rantau Baru yang sekarang. Malako Kocik menjadi kampung tinggal, yang ada hanya perkuburan dan tanaman-tanaman seperti rambai, durian dan lain-lain.
Menurut Datuk Sati Diraja Batin Sibokol-Bokol Dr Griven H Putra, Desa Rantau Baru ini sudah ada sejak awal tahun 1900. Tahun 1985, katanya. Desa Rantau Baru belum ada dalam peta Belanda, yang ada Boko-Boko atau nama lain Malako Kocik. Tapi dia tidak tahu sejak kapan nama Malako Kocik itu dipakai.
‘’Makanya Saya ini Batin Sibokol-Bokol, ya dari nama Boko-Boko itu. Boko-Boko itu juga nama sungai. Tahun 1901 sudah mulai Rantau Baru ini,’’ jelas Datuk
Kampung Adat
Sudah pasti kampung adat. Wilayah adatnya masih ada sampai sekarang, adat istiadatnya masih terjaga dengan baik, dan perangkat adatnya juga masih lengkap.
Ada tiga suku di kampung ini, yakni Suku Melayu Tuk Tuo, Melayu Tuk Mudo dan Maleleng. Masing-masing suku memiliki beberapa datuk. Dari semua datuk di tiga suku ini ada datuk tertingginya atau disebut sebagai Datuk Pucuk yakni Datuk Sati Diraja Batin Sibokol-Bokol yang juga merupakan datuk tertinggi dari Suku Melayu Tuk Tuo.
Dalam Suku Melayu Tuk Tuo, selain ada Datuk Sati Diraja sebagai datuk tertinggi di sukunya dan sebagai Datuk Pucuk yang membawahi semua datuk di semua suku, juga ada beberapa datuk di bawahnya, yakni Datuk Majo Sindo, Datuk Ketuo Anak Jantan, Datuk Ketuo Anak Betino dan Datuk Ketuo Oghang Sumondo.
Di Suku Maleleng ada Datuk Sari Koto sebagai datuk tertingginya, lalu Datuk Paduko Muhammad, Datuk Ketuo Anak Jantan, Datuk Ketuo Anak Betino dan Datuk Ketuo Oghang Sumondo.
Di Suku Melayu Tuk Mudo, ada Datuk Paduko Suanso sebagai datuk tertinggi. Lalu disusul Datuk Ketuo Anak Jantan, Datuk Ketuo Anak Betino dan Datuk Ketuo Oghang Sumondo.
Selain datuk datuk tersebut di atas, ada Datuk Mangku yang secara hirarki berasal dari Suku Maleleng dengan fungsi sebagai pimpinan saat ada konsultasi dan musyawarah, jika memang benar-benar diperlukan.
Datuk Sati juga menjelaskan, sebagian masyarakat Desa Rantau Baru ada yang merantau ke Simalinyang dan Sungai Pagar Kabupaten Kampar (Kampar Kiri, red) sehingga nama-nama sukunya sama. Sebagiannya pula ada yang ke Rangau, Bagan (Rokan), Kandis, Duri, Malaysia, dan lain-lain.
‘’Desa kami ini berada di perbatasan. Jadi Bahasa kami pun bercampur-campur. Ada Kamparnya, ada Bagannya, ada Siaknya juga. Layaknya masyarakat sungai di mana sungai sebagai jalur utama transportasi sejak ratusan tahun silam, maka kampung kami pun disinggahi banyak orang dari banyak tempat,’’ kata Datuk Sati.
Masyarakat di desa ini juga menggunakan alur keturunan dari pihak ibu atau matrilineal. Selain kedatuan sebagai perangkat adat, juga ada Sompu, yakni perempuan dengan strata adat tertinggi di sukunya masing-masing. Kecuali Suku Melayu Tuk Tuo yang memiliki dua Sompu dengan dua rumahnya. Rapat dan pertemuan-pertemuan adat dilakukan di rumah Sompu ini.
‘’Pangkat datuk nantinya akan diberikan kepada anak kemenakan, atau adek atau mereka yang sesuku jika memang tidak ada dari kerabat terdekat tadi. Sama dengan Kampar dan wilayah yang menganut matrilineal,’’ sambung Datuk Sati.
Tata Ruang dan Kepungan Sialang
Sebagai kampung adat, di Desa Rantau Baru juga memiliki tata ruang wilayah. Ada tanah perkampungan yang sejak dulu ada, tidak bertambah dan tidak berkurang, yakni yang sekarang dihuni oleh masyarakat sekitar 300 Kepala Keluarga (KK).
Selanjutnya tanah peladangan yang terletak di seberang sungai, persis di tepi sungai dengan lebar sekitar 200 meter dari bibir sungai yang semuanya milik masyarakat adat. Artinya, sepanjang atau seluas tanah itu boleh menjadi tempat berladang semua masyarakat. Baik secara menetap atau berpindah-pindah. Prinsipnya siapa yang dulu. Luas tanah perladangan ini sekitar 137 hektare.
Tanah peladangan sudah tidak lagi berfungsi sebagai lokasi ladang karena seringnya banjir dan banyak binatang seperti babi sebagai hama. Apalagi dampak keberadaan waduk PLTA yang menjadi sebab banjir saat ini. Terakhir berladang sekitar tahun 1990 an. Waktu itu sudah ada banjir, tapi sangat jarang. Bisa lima tahun sekali dengan waktu yang bisa diprediksi kapan terjadinya.
‘’Dulu banjir datang bisa diprediksi kapan waktu atau bulannya. Jadi kapan saat yang tepat untuk berladang itu tahu. Kalaupun banjir, padi masih bisa dipanen dengan menggunakan perahu, dari atas perahu. Tidak seperti sekarang, benar-benar tenggelam dan banjirnya setahun bisa dua kali. Itupun susah diprediksi di bulan apa. Seperti tahun ini, Maret kemarin banjir padahal Desember sudah banjir. Saya ingin mengajak masyarakat kembali berladang, tapi tak bisa lagi karena banjir ini,’’ jelas Datuk Sati.
Meski peladangan sudah tidak ada lagi, tapi tanah ulayat di seberang sungai itu masih dipenuhi dengan pohon Sialang, atau dikenal dengan Kepungan Sialang. Dari hutan Sialang inilah masyarakat mengambil madu sehingga menjadi sumber ekonomi yang berasal dari kawasan hutan.
Rawan Banjir
Rumah-rumah di Desa Rantau Baru semuanya tinggi, sekitar 2 meter. Semua rumah terbuat dari kayu dengan tiang-tiang rumah semuanya terbuat dari coran semen. Saat tiba di sana dan masuk ke dalam rumah, terlihat bekas air di dinding rumah hingga setinggi lutut orang dewasa.
Dengan demikian, banjir mencapai 2,5 meter dari permukaan tanah. Bekas banjir juga terlihat di batang kelapa sawit yang memenuhi sepanjang kebun, halaman rumah hingga bibir Sungai Kampar.
Banjir terakhir terjadi Bulan Maret 2025. Seperti biasa, saat banjir besar datang, masyarakat tetap bertahan di rumahnya. Tidak ada yang pindah atau mengungsi dan meninggalkan rumahnya. Agar aman, mereka membuat panggung di dalam rumah untuk tempat tidur dan perlengkapan rumah.
Perahu menjadi satu-satunya alat transportasi untuk pergi kemana-mana. Tidak hanya di luar rumah, saat banjir, ada juga perahu yang masuk ke dalam rumah. Bahkan saat banjir surat, masih ada perahu yang tertinggal di dalam rumah, seperti di rumah Datuk Sati Diraja sendiri.
Ada 29 anak sungai di desa tersebut. Sayangnya, semua sungai ini tidak bisa lagi menampung air Sungai Kampar saat meluap karena dibukanya waduk Danau PLTA. Semakin tahun, kata Datuk Sati, kondisi banjir ini semakin parah.
Tidak Ada Sinyal
Uniknya lagi, di Desa Rantau Baru ini tidak ada sinyal, meski jaraknya dari ibu kota kabupaten hanya 10 kilometer saja. Hanya ada satu titik sinyal, yakni di Balai Adat Sibokol-Bokol. Itu pun tidak lancar alias hilang timbul.
‘’Untuk kampung ini, Saya sendiri susdah bertemu dengan gubernur, dengan bupati, agar kampung kami ini diperhatikan, baik jalan, sekolah atau kondisi lain di kampung ini. Jalan memang sudah pernah dibaiki, tapi karena banjir yang sering terjadi, dalam waktu dekat jalan sudah rusak kembali. Seperti tidak ada solusi. Padahal kampung kami ini tidak jauh dari Lokasi PT RAPP sebagai perusahaan kertas terbesar di ASIA. Kampung kami dibiarkan tertinggal. Terancam bencana terus, entah sampai kapan,’’ lanjut Datuk Sati dengan nada tinggi.(*)
[ Ikuti Sunting.co.id ]
Berita Lainnya +INDEKS
Usai Wisuda, Empat Mahasiswa ISI Padang Panjang Asal Aceh Dipeusijuek dengan Tradisi Adat
PADANGPANJANG (Sunting.co.id) - Empat mahasiswa asal Aceh yang telah menyelesaik.
Menyusun Panggung Masa Depan: Jalan Kebudayaan (3)
Oleh: Ilham Muhammad YasirDI NEGERI yang diberkahi denga.
Janji di Negeri yang Kaya Tradisi; Jalan Kebudayaan (2)
Oleh: Ilham Muhammad YasirDI TANAH Melayu yang harum ole.
Negara dan Janji Konstitusi; Jalan Kebudayaan (1)
Oleh: Ilham Muhammad YasirDI PELOSOK negeri yang tenang,.
Masyarakat Antusias, Tingkat Partisipasi PSU di Siak Tinggi
PEKANBARU (Sunting.co.id) - Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Bupati dan Wa.