Pilihan +INDEKS
Negara dan Janji Konstitusi; Jalan Kebudayaan (1)

Oleh: Ilham Muhammad Yasir
DI PELOSOK negeri yang tenang, nan jauh dari berisik media. Budaya Indonesia tetap hidup. Pelan, namun pasti. Anak-anak kecil, tetap bersemangat belajar menari di pelataran rumah.
Para penutur bahasa lokal, mengulang cerita leluhur kepada anak-cucunya. Para seniman tua dan muda terus memahat kayu, meski tidak ada panggung untuk mereka pamerkan.
Amanah Konstitusi
Tahun 2017 adalah titik-balik. Untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, amanat Pasal 32 UUD 1945 benar-benar diturunkan ke dalam bentuk hukum yang utuh: UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sebuah produk hukum yang lahir dengan naskah akademis yang sangat baik —penuh gagasan visioner, dan berpijak kuat pada nilai konstitusi dan ke-Indonesiaan.
Pasal 32 UUD 1945: Ayat (1): "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia dalam peradaban dunia, menjamin kebebasan masyaraat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan.”
Ayat (2): “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”
Ruang Politik
Namun dalam ruang waktu politik, semangat bisa kehilangan tubuh. Peraturan Pemerintah (PP) No. 87 Tahun 2021 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai peraturan pelaksana baru hadir 4 tahun kemudian —saat gairah publik tentang kebudayaan mulai surut. Ini bukan hanya soal administratif. Jeda 4 tahun itu menunjukkan betapa budaya, meskipun diakui sebagai fondasi pembangunan nasional, seringkali bukan prioritas dalam sistem politik kita.
Padahal, keberadaan peraturan pelaksana sangat penting. Tanpa itu, UU tinggal sebagai dokumen gagasan, belum menjadi arahan kerja yang konkret. Sementara pelaku budaya di akar rumput—dari _maestro_ tari hingga penjaga tradisi lokal —terus bergerak dengan atau tanpa dukungan. Mereka menyusun agenda, membuat panggung, membuka ruang belajar, semua secara swadaya.
UU No. 5 Tahun 2017 membawa semangat baru dalam memahami budaya sebagai sesuatu yang dinamis. Bukan hanya dilestarikan, tapi dimajukan. Prinsip pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan menjadi kerangka kerja yang sistematis dan inklusif. Namun, penerapannya masih jauh dari ideal, terutama karena belum menyentuh wilayah-wilayah administratif secara nyata.
PP No 87 Tahun 2021 semestinya menjadi titik tolak dari pelaksanaan nyata. Ia memberi pedoman teknis bagi daerah untuk menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), mengintegrasikan budaya dalam perencanaan pembangunan daerah, dan menyusun rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (IPK). Tapi di banyak daerah, PPKD masih dianggap beban administratif—bukan peta jalan strategis kebudayaan lokal.
Tempat Budaya Hidup
Padahal, tanpa keterlibatan pemerintah daerah, pemajuan kebudayaan hanya akan menjadi proyek elit di pusat. Daerah adalah tempat budaya itu hidup dan tumbuh. Mulai dari permainan tradisional di kampung, festival rakyat, sampai manuskrip kuno yang tersembunyi di laci-laci rumah tua. Jika daerah tidak diberdayakan—baik melalui peraturan turunan maupun alokasi anggaran yang memadai —maka cita-cita besar dalam UU ini akan sulit diwujudkan.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat seharusnya tak hanya menuntut laporan dan dokumen, tapi juga memberi pendampingan substansial.
Pendekatan partisipatif perlu lebih dikedepankan, termasuk melibatkan komunitas budaya, akademisi, komunitas dan pelaku seni dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan.
Bicara budaya berarti bicara tentang cara kita menjadi bangsa. UU ini bukan hanya pasal, tapi pijakan nilai. Tapi nilai tidak tumbuh di atas kertas. Nilai hanya hidup jika ia diterapkan dalam tindakan —dalam program, dalam pendanaan, dalam keberpihakan yang nyata. Saatnya negara tak hanya membuat panggung, tapi ikut menari di atasnya. Karena budaya, sejatinya, adalah nadi yang tak boleh putus.
Langkah konkret yang dapat diambil adalah memastikan bahwa strategi kebudayaan yang telah ditetapkan di tingkat pusat benar-benar diturunkan ke level provinsi dan kabupaten/kota dengan pendekatan yang kontekstual. Pemda perlu merumuskan kebijakan kebudayaan berbasis lokalitas, bukan sekadar menyalin rumusan dari pusat. Kebudayaan tidak bisa diseragamkan, sebab ia lahir dari keberagaman.
Program Afirmatif
Dalam hal ini, penguatan kapasitas birokrasi di daerah menjadi sangat penting. Banyak dinas kebudayaan yang masih minim sumber daya, baik dari sisi anggaran maupun sumber daya manusia. Pelatihan bagi aparat pemerintah di bidang kebudayaan, pendampingan teknis dalam penyusunan PPKD, serta kemitraan dengan akademisi dan komunitas seni bisa menjadi jalan keluar.
Program afirmatif ini penting guna memastikan bahwa semangat UU No. 5 Tahun 2017 tidak berhenti di meja rapat atau lembar dokumen.
Lebih jauh, pemajuan kebudayaan juga harus dilihat sebagai investasi jangka panjang.
Pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran APBD. Ini bukan biaya, tapi investasi untuk membangun karakter dan identitas lokal, dan mendorong ekonomi kreatif budaya. Pariwisata budaya, kuliner tradisional, dan warisan budaya tak benda (intangible) adalah potensi ekonomi yang belum tergarap optimal.
Sebagaimana disebut dalam UU, pemajuan kebudayaan bertujuan untuk memperkaya keberagaman budaya. Memperteguh jati diri bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan masyarakat madani. Artinya, budaya bukan hanya tentang masa lalu yang dilestarikan, tetapi tentang masa depan yang sedang dibentuk. Dan untuk itu, semua pihak harus terlibat —pemerintah pusat, daerah, komunitas, dan masyarakat luas.
Perubahan Struktural
Dalam proses ini, evaluasi dan monitoring harus dilakukan secara berkala. Kementerian yang membidangi kebudayaan perlu merilis laporan implementasi tahunan, tak hanya administratif, tapi juga dampak sosial budaya. Bagaimana respons masyarakat? Apakah terjadi peningkatan akses terhadap ruang ekspresi budaya? Apakah pelaku budaya mendapatkan manfaat nyata dari kebijakan ini? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab secara jujur.
Jika UU Pemajuan Kebudayaan hanya menjadi alat simbolik tanpa keberanian untuk mendorong perubahan struktural, maka Indonesia akan terus tertinggal dalam hal pembangunan berbasis nilai. Negara-negara lain telah menempatkan budaya sebagai strategi diplomasi, identitas, bahkan kekuatan lunak dalam geopolitik global. Sudah saatnya Indonesia melakukan hal yang sama, dimulai dari keberanian untuk menghidupkan undang-undangnya sendiri.
Karena pada akhirnya, sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang tak hanya membangun jalan dan gedung. Tetapi juga merawat jiwa dan jati dirinya melalui kebudayaan. Semoga. *(bersambung).*
Penulis adalah penikmat seni budaya dan anggota Koalisi Masyarat Seni Riau (Komaseri) untuk Pemajuan Kebudayaan, saat ini aktif sebagai mahasiswa Program (S3) Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Riau.
[ Ikuti Sunting.co.id ]
Berita Lainnya +INDEKS
Rantau Baru, Kampung Tua yang Dibiarkan Terancam Hilang
PANGKALANKERINCI (Sunting.co.id) - Namanya Rantau Baru, sebuah desa yang berada .
Usai Wisuda, Empat Mahasiswa ISI Padang Panjang Asal Aceh Dipeusijuek dengan Tradisi Adat
PADANGPANJANG (Sunting.co.id) - Empat mahasiswa asal Aceh yang telah menyelesaik.
Menyusun Panggung Masa Depan: Jalan Kebudayaan (3)
Oleh: Ilham Muhammad YasirDI NEGERI yang diberkahi denga.
Janji di Negeri yang Kaya Tradisi; Jalan Kebudayaan (2)
Oleh: Ilham Muhammad YasirDI TANAH Melayu yang harum ole.
Masyarakat Antusias, Tingkat Partisipasi PSU di Siak Tinggi
PEKANBARU (Sunting.co.id) - Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Bupati dan Wa.