Pilihan +INDEKS
Menyusun Panggung Masa Depan: Jalan Kebudayaan (3)

Oleh: Ilham Muhammad Yasir
DI NEGERI yang diberkahi dengan seribu ragam budaya, kebijakan seringkali tertinggal dari semangat rakyatnya. UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberi kita harapan bahwa negara akhirnya sadar: budaya bukan sekadar warisan, melainkan masa depan. Ia bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dikembangkan. Namun, janji konstitusi tak serta merta menjadi kenyataan. Di banyak sudut tanah air, budaya masih berjalan sendiri. Pemerintah belum sepenuhnya hadir di pelataran tempat anak-anak menari atau para seniman melukis tanpa panggung.
Tulisan pertama dan kedua mengajak kita berjalan dari pusat ke daerah. Dari wacana besar di Jakarta, hingga denyut hidup di tepian Sungai Siak. Kita menyaksikan bagaimana UU dan PP telah tersedia, tapi implementasinya tertinggal. Kita melihat Riau, negeri Melayu yang harum oleh sejarah, mencoba menyusun Ranperda untuk memajukan budaya, namun terjebak dalam ruang tunggu yang panjang.
Inilah saatnya menengok ulang: apakah jalan kebudayaan yang kita tempuh benar-benar membawa kita ke masa depan? Atau justru membuat kita berjalan di tempat, hanya sibuk menyusun dokumen, tanpa ruh, tanpa gerak?
Di banyak daerah, termasuk Riau, penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) seringkali menjadi rutinitas administratif, bukan alat strategis. Ia disusun untuk memenuhi kewajiban, bukan untuk menggerakkan perubahan. Padahal, semangat UU Pemajuan Kebudayaan adalah agar daerah menjadi episentrum kebudayaan: menyusun rencana, menentukan arah, dan mengalokasikan anggaran.
Namun kenyataan berkata lain.
Kelembagaan budaya lokal—seperti LAM Riau dan Dewan Kesenian Riau —masih sering hanya dilibatkan secara simbolik. Komunitas seni, pelaku budaya, dan masyarakat adat jarang duduk dalam ruang pengambilan keputusan. Akibatnya, kebijakan lahir tanpa jiwa. Regulasi jadi dokumen mati. Pemajuan kebudayaan mestinya dimulai dari cara kita memandang pelaku budaya. Mereka bukan obyek, tetapi subyek utama. Mereka bukan penerima, tetapi pemilik kebijakan.
Setiap penyusunan rencana, perda, hingga alokasi APBD harus lahir dari dengar pendapat dengan mereka. Tak bisa lagi pendekatan teknokratis menguasai ruang budaya. Sebab budaya bukan sekadar program, tapi cara hidup.
Ranperda Pemajuan Kebudayaan Melayu Riau menyimpan potensi besar. Bila disahkan dengan keberanian politik dan pelibatan publik yang otentik, ia bisa menjadi model nasional.
Bukan hanya karena Riau adalah jantung budaya Melayu, tetapi karena Riau punya infrastruktur kultural: lembaga adat yang hidup, komunitas seni yang dinamis, serta tradisi yang masih mengakar. Tapi semua ini tak akan berarti jika kebijakan hanya dibahas di ruang tertutup, disusun oleh mereka yang tak menyentuh tanah, tak mencium bau panggung.
Menyusun panggung masa depan kebudayaan bukan berarti mengulang dari awal. Tapi menata ulang niat, paradigma, dan metode. Pemerintah pusat harus memperkuat pendampingan ke daerah, bukan hanya lewat laporan dan pelatihan, tetapi lewat kemitraan yang membangun kepercayaan.
Pemerintah daerah harus memandang kebudayaan sebagai strategi pembangunan, bukan pelengkap seremoni. Dan masyarakat sipil harus terus bersuara, menjaga agar panggung itu tak pernah kosong.
Dalam konteks kebijakan, kita perlu menagih keberanian.
Keberanian untuk berpihak. Keberanian untuk mengakui bahwa budaya tak bisa dibangun dari atas ke bawah. Ia tumbuh dari bawah ke atas. Dari kampung, dari lisan, dari kesenian rakyat. Jika benar pemajuan kebudayaan adalah komitmen nasional, maka ia harus didanai dengan adil, diberi ruang yang layak, dan dijaga agar tak dikerdilkan oleh urusan politik jangka pendek.Indonesia tidak kekurangan regulasi.
Yang kita perlukan adalah semangat untuk menghidupkannya. UU dan Ranperda hanya akan bernyawa jika ia berjalan dalam tindakan. Karena budaya adalah denyut. Dan denyut tak bisa direkayasa. Ia harus dijaga—dengan cinta, dengan komitmen, dengan keberanian.
Jika tulisan pertama adalah panggilan atas janji konstitusi, dan tulisan kedua adalah penantian atas janji daerah, maka tulisan ketiga ini adalah ajakan: mari menyusun ulang panggung kita. Jangan biarkan budaya berdiri sendiri. Negara harus ikut menari, bukan sekadar menonton.
Karena dalam budaya, kita menemukan siapa kita. Dan dalam pemajuan kebudayaan, kita menentukan siapa kita ingin menjadi. Semoga.(habis)
Penulis adalah penikmat seni budaya dan anggota Koalisi Masyarat Seni Riau (Komaseri) untuk Pemajuan Kebudayaan, saat ini aktif sebagai mahasiswa Program (S3) Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Riau.
[ Ikuti Sunting.co.id ]
Berita Lainnya +INDEKS
Rantau Baru, Kampung Tua yang Dibiarkan Terancam Hilang
PANGKALANKERINCI (Sunting.co.id) - Namanya Rantau Baru, sebuah desa yang berada .
Usai Wisuda, Empat Mahasiswa ISI Padang Panjang Asal Aceh Dipeusijuek dengan Tradisi Adat
PADANGPANJANG (Sunting.co.id) - Empat mahasiswa asal Aceh yang telah menyelesaik.
Janji di Negeri yang Kaya Tradisi; Jalan Kebudayaan (2)
Oleh: Ilham Muhammad YasirDI TANAH Melayu yang harum ole.
Negara dan Janji Konstitusi; Jalan Kebudayaan (1)
Oleh: Ilham Muhammad YasirDI PELOSOK negeri yang tenang,.
Masyarakat Antusias, Tingkat Partisipasi PSU di Siak Tinggi
PEKANBARU (Sunting.co.id) - Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Bupati dan Wa.