Pilihan +INDEKS
Di Linge, Penyair Desember Kopi Melihat Kemegahan Asal Muasal Suku Gayo
Mungoro hingga bersila di Rumah Pitu Ruang Bintil Linge, renjis air tawar itu menyejukkan segala hawa. Di sini Gayo bermula.
KUNNI MASROHANTI, Linge
HARI kedua pelaksanaan Festival Puisi Kopi Desember Kopi Gayo, Minggu (22/12/2024), para penyair dari berbagai provinsi di Indonesia dibawa mengunjungi tanah asal muasal Suku Gayo, yakni ke Kampung Linge. Lumayan Jauh. Memerlukan waktu sekitar 2,5 jam dari penginapan El-Jadid di Mendale, Aceh Tengah. Peserta yang berangkat pukul 06.00 WIB, setelah melalui jalan naik turun bukit yang cukup curam, akhirnya sampai ke Kampung Linge sekitar pukul 08.30 WIB.
Founder Desember Kopi Gayo yang juga penyair dan budayawan Aceh, Fikar W Eda, menjelaskan, perjalanan ke Kampung Linge ini penting bagi para penyair. Sejarah dan berbagai informasi yang didapatkan di sana menjadi penguat sekaligus sumber inspirasi dalam puisi-puisi yang akan diciptakan.
“Untuk memperkuat puisi-puisinya, penyair juga perlu mendapatkan informasi yang jelas tentang puisi yang akan diciptakannya. Dengan datang ke Kampung Linge, para penyair akan mendengar dan melihat langsung berbagai prosesi adat dan kebudayaan masyarakat di sana, serta kedalaman sejarahnya. Semoga menjadi inspirasi,’’ kata Fikar.
Mungoro, Kekuatan Jenawat dan Jengo yang Lezat
Kepala Kampung Linge dan segenap masyarakat sudah menunggu rombongan penyair yang dipimpin langsung Fikar W Eda. Kepala Kampung dan segenap masyarakat, menunggu persis di tepian hamparan sawah yang luas. Musim panen sudah berlalu, yang ada menjelang musim tanam. Sapi-sapi sudah berlarian di tengah sawah. Kaum bapak sedang melecutkan jenawat ke arah lumpur berair di sisi kanan kiri sapi-sapi sehingga menimbulkan efek kejut dan sapi berlarian ke arah yang diinginkan petani.
“Aaaa.. oo..
Suara pembajak terdengar berulang-ulang, diiringi kuat lecut jenawat dan cipak air yang ditimbulkannya. Terus, menggiring sapi-sapinya untuk melembutkan tanah agar segera bisa ditanami padi. Proses membajak sawah dengan menggunakan tenaga sapi inilah yang disebut Mungoro. Tradisi turun temurun yang masih terjaga hingga kini.
Selama prosesi Mungoro atau berladang berlangsung, masyarakat selalu membawa Jengo untuk makanan selama berada di ladang. Jengo adalah makanan khas Kampunng Linge yang terbuat dari beras ketan kukus atau rebus dengan taburan kelapa parut di atasnya. Selama menyaksikan prosesi Mungoro ini, para penyair turut menikmati lezatnya Jengo di tengah sawah.
‘’Mayoritas masyarakat Kampung Linge adalah berladang. Penduduk kampung ini hanya 105 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 350 jiwa saja. Mereka berladang, menyimpan padi-padinya untuk kebutuhan keluarga hingga datang musim ladang berikutnya,’’ kata Kepala Kampung, Zainuddin.
Sebelum prosesi Mungoro hingga tanam padi dilaksanakan, masyarakat akan menggelar doa bersama atau disebut dengan Kenduri Kemoyang. Doa-doa dipanjatkan di dalam prosesi kenduri tersebut agar padi yang ditanam tumbuh subur, jauh dari serangan hama, berbuah banyak dan berisi, serta selamat hingga musim panen tiba.
Ziarah Makam Raja
Usai melihat prosesi Mungoro, para penyair diajak menziarahi makam Raja Linge yang berada di seberang sungai dan di atas bukit, tak begitu jauh dari sawah. Penyair ada yang memilih membuka sepatu dengan berbasah-basah kaki dan menyeberangi sungai berbatu, ada yang memilih menyeberang dengan menginjak sepotong kayu di ujung jembatan karena ambruk oleh banjir.
Puluhan anak tangga sudah menunggu di seberang sungai, sebelum benar-benar sampai ke kompleks makam. Cukup tinggi, licin dan perlu kehati-hatian. Sementara pepohonan yang tinggi dan padat, mengitari kompleks makam tersebut. Teduh di sepanjang kanan dan kiri jalan.
Ada banyak makam dengan nisan-nisan lama, beraksara lama dan hanya ada kalimat Lailahailallah. Tidak ada tanggal atau tahun yang jelas. Nisan ini menunjukkan pemiliknya atau yang berada di makam tersebut adalah Muslim.
Makam-makam ini dirawat dengan baik. Sekeliling makam berlantai keramik, berpagar dan beratap. Nampak baru direhab. Kata Kepala Kampung, kompleks makam dengan bangunan dan keramik ini baru dibuat dalam dua tahun terakhir. Selain banyak penziarah dari Kampung Linge dan sekitar, juga banyak penziarah yang datang dari luar.
Tepung Tawar Pendingin Hati yang Panas
Ratusan masyarakat Linge berkumpul di bawah rumah adat Gayo yang dulu, di sinilah Kerajaan Gayo berdiri. Rumah ini bernama Rumah Pitu Ruang Bintul Linge. Tinggi. Jangankan duduk, berdiri pun lantai rumah itu masih jauh dari kepala. Luas, panjang dengan tiang-tiang kayu berukir serta pasak-pasak tanpa paku. Di sini, segenap penyair dan beberapa petinggi negeri seperti Kepala Dinas Pariwisata Aceh Tengah Zulkarnain SE, MM dan beberapa lainnya disambut dengan tepung tawar.
Duduk paling depan, kepala kampung, kepala dinas pariwisata dan pemilik Desember Kopi Gayo Fikar W Eda. Punggung mereka diselimuti dengan satu kain Kerawang Gayo besar oleh juru kunci Kampung Linge, Ine Siti Makmurni serta dua perempuan lainnya. Dari ketiga perempuan itu, Ine Siti paling dominan. Ia merenjis air tepung tawar yang dicecah dengan akar-akar kayu dan bunga banyak rupa hingga ke setiap sudut ruangan, ke wajah para tokoh kampung serta para penyair dari barisan paling depan hingga belakang.
Suasana sakral dan haru semakin terasa ketika tiba-tiba Ine Siti sebagai juru kunci terus merapalkan kalimat syahadat, tahlil, tahmid, tasbih dan takbir berulang-ulang. Sesekali suaranya mengeras dengan beribu resah dan harap berurai doa dan kepiluan sehingga suara itu terdengar bergetar dan menggelegar.
Usai tepung tawar, Ine Siti menjelaskan makna tepung tawar yang ia lakukan dengan berkeliling lokasi. Begitu juga dengan makna kain Kerawang Gayo yang ia tutupkan kepada tiga orang penting yang hadir dalam kegiatan tersebut.
”Tadi sebelum kegiatan ada suasana sedikit panas. Jadi tepung tawar ini untuk pendingin yang panas dalam jantung dan hati. Meski di sekitar sini yang kita dinginkan, tapi dingin di sepanjang kawasan ini akan kembali. Kembali dingin dan damai. Sedangkan kain Kerawang Gayo yang ditutupkan kepada tiga orang tadi untuk mengetahui bagaimana kemurnian hatinya. Jika ada yang tidak benar kita benarkan dan kenapa satu kain untuk bertiga, agar mereka selalu kompak,’’ kata Ine Siti.
Ine Siti yang merupakan juru kunci dan mengaku sebagai keturunan keenam dari Raja Linge terakhir juga menjelaskan mengapa prosesi hanya dilakukan oleh kaum perempuan dan tidak ada seorang lelakipun yang ambil bagian. Katanya, ‘’karena perempuan pendingin dalam segala-galanya. Tanpa perempuan lelaki tidak bisa. Tetapnya lalaki karena perempuan, tetapnya perempuan karena makanan yang diberi oleh suaminya.’’
Berdidong dam Berpuisi di Bawah Rumah
Seperti biasa, di manapun penyair singgah selama musim kopi di Festival Puisi Kopi Desember Kopi Gayo, mereka pasti membaca puisi. Bagitu pula di Linge ini. Kali ini puisi yang mereka bacakan secara spontan adalah tentang Linge dan seluruh kemegahan sejarah dan kearifan lokal masyarakatnya.
Pembacaan diawali oleh penyair Kunni Masrohanti dari Riau. Dengan selendang besar warna merah yang menutup seluruh tubuhnya, Kunni membacakan puisi tentang Linge dan Ine yang tak lelah menunggu. Ia membacakan puisi itu langsung dari tempat duduknya yang kemudian disusul oleh penyair-penyair lain. Ada Devie Matahari, Asmirah, Yeyen Kiram, dan beberapa lainnya.
Di rumah adat ini, para penyair juga disambut dengan Didong yang dimainkan oleh anak-anak muda. Jumlahnya puluhan. Mereka asli Kampung Linge. Suara yang merdu dan gemuruh tepuk tangan yang menjadi irama Didong, membuat suasana semakin syahdu. Uniknya, selama Didong berlangsung, banyak tamu dan masyarakat yang hadir memberikan sumbangan uang yang disambut gembira seluruh masyarakat yang hadir. Para penyair juga ikut berdidiong, diawali oleh Fikar W Eda, lalu disusul lainnya, sampai tiba waktu makan siang bersama.
Sumur Tua Dalam Rumah
Sumur tua itu berada dalam rumah yang dikunci dan kuncinya dipegang oleh juru kunci Ine Siti Makmurni. Rumah itu berada persis di depan rumah adat. Hanya beberapa langkah saja dari sana. Sumur ini diyakini masyarakat Kampung Linge bukan sumur biasa, tapi sumur keramat yang membawa keberkahan dan keberuntungan bagi msayarakat di sana serta tamu-tamu yang datang.
Keberuntungan itu, kata juru kunci, dilihat dari debit air sumur tersebut. Tidak selalunya sumur ini berair. Sering kering, karena keberadaannya juga memang di dataran tinggi. Kadang hanya sedikit air sehingga terlihat dasarnya. Kadang juga banyak. Hampir penuh. Konon, kondisi air ini tergantung kepada niat tamu atau orang-orang yang datang ke sumur tersebut.
Beruntung, saat penyair masuk ke dalam rumah, air sumur sedang banyak. Jernih. Batu-batu besar yang disusun rapi di seluruh tepian sumur hingga dasar, terlihat jelas. Sedang di sampingnya ada dua makam kecil. Kata juru kunci, makam itu adalah makam anak bungsu raja dan sahabatnya.
‘’Minumlah airnya atau usapkan ke muka. Bismillah dan baca salawat, niatkan semua karena Allah dan kembali kapada Allah. Insyaallah berkah,’’ kata Ine Siti.
Tanpa banyak cerita, para penyair melaksanakan apa yang diarahkan Ine Siti. Ada yang meminum air langsung dari ember, ada juga yang hanya mengusapkannya ke wajah.
Baru Dua Bulan Ada Internet
Selama berjalan di Kampung Linge, dari satu destinasi ke destinasi lain, para penyair banyak bertemu dengan masyarakat. Mulai dari bapak-bapak di sawah, ibu-ibu yang setia dengan tengkuluk di atas kepalanya hingga para pemuda. Saat berjalan dengan Fikar W Eda dan segenap rombongan, tiba-tiba seorang ibu menyapa Fikar.
‘’Pak, terimakasih, Pak. Berkat Bapak datang ke sini dua bulan lalu, hari ini kampung kami sudah ada internet. Alhamdulillah,’’ kata Nia, salah seorang warga yang sedang berdiri di tepi jalan arah ke rumah adat.
Fikar menyambut dengan senyuman dan syukur yang panjang. Begitu juga dengan para penyair yang mendengar pengakuan itu.
‘’Alhamdulillah, semoga bermanfaat ya, Bu,’’ kata Fikar yang berjalan seiring dengan istrinya Devie Matahari dengan singkat sambil tersenyum.
Internet yang ada di Kampung Linge tidak seperti di kota-kota. Masyarakat yang mau mengakses internet harus membeli voucher kepada warga yang memiliki akses tersebut.
Linge Sejarah Panjang Peradaban Orang Gayo
Sepanjang jalan dari Takengon kota menuju Kampung Linge, para penyair mendengarkan perjalanan sejarah dan asal usul orang Gayo di Aceh. Dr Salman Yoga, dosen di Kampus UIN Arraniry Banda Aceh, IAIN Takengon dan Institute Seni Budaya Indonesia (ISBI) Kota Jhanto Aceh Besar menjelaskan sejarah panjang peradaban orang Gayo.
Dibeberkan Salman, Wilayah ini semuanya disebut wilayah Kerajaan Linge. Pendiri Kerajaan Islam Pase dan Perlak, namanya Meraksilu yang kemudian berubah menjadi Malikussaleh. Setelah Kerajaan Perlak dan Pase, muncul Kerajaan Islam baru yakni Aceh Darussalam. Raja pertamanya atau pendirinya dari putra Gayo bernama Merak Johansyah.
Islam masuk ke Gayo pada abad 10 melalui jalur mubaligh. Kerajaan Pase dan Perlak baru Islam abad 12. Butuh 200 tahun dari Gayo baru Islam. 300 tahun kemudian baru Banda Aceh diislamkan oleh Sultan Johansyah karena kerajaan Aceh berdiri abad 15. Dalam banyak sejarah Indonesia disebut nusantara, yakni Melaka, sebagian Thailand, semua diislamkan dari Kerajaan Aceh Darussalam. Aceh mengislamkan seluruh nusantara sehingga berdiri kerajaan Islam Kutai, Banten, Kudus sampai ke Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan Siak.
‘’Gayo memiliki potensi besar bagi peradaban dunia dan ia merupakan etnis kedua terbesar setelah Aceh. Suku terbesar pertama Aceh, kemudian Gayo, Alas, Jame, Tamiyang,’’ kata Salman.
Dijelaskan Salman lagi, banyak penulis yang menceritakan, bahwa, datang pengembara dunia bernama Marcopolo tahun 1229. Marcopolo singgah ke Perlak dalam catatan yang dutulis Dadameraksa. Dalam catatan itu dijelaskan, Gayo berarti tanah yang suci. Marcopolo juga menulis, ‘’ketika Saya singgah usai dari Cina, Saya menemui kerajaan yang rajanya mengendarai gajah dan tentaranya mengendarai kuda. Mereka mengenakan jubah.’’
‘’Artinya mereka adalah muslim. Muncul catatan dari pengelana dunia, beberapa puluh tahun sebelum kedatangan Marcopolo, namanya Ibnu Batutah. Di catatannya dengan judul karya besar Arrisalah, menyatakan, dia datang lebih dulu ke Perlak. Dalam Arrisalah iu, Ibnu Batutah menuliskan bahwa ia disambut seperti seorang raja diundang makan selama seminggu lamanya bahkan menjadi khatib dalam salah satu Jumat yang berkah,’’ jelas Salman panjang lebar.(*)
[ Ikuti Sunting.co.id ]
Berita Lainnya +INDEKS
Pj Bupati Mengaku Malu Hanya Bantu Makan Malam dan Bus untuk Desember Kopi Gayo
ACEHTENGAH (Sunting.co.id) - Panitia pelaksana Festival Puisi Kopi Desembe.
Puluhan Penyair Hadiri Festival Puisi Kopi Desember Kopi Gayo 2024
BENERMERIAH (Sunting.co.id) - Festival Puisi Kopi Desember Kopi Gayo 2024 di Kab.
Datuk Besar Dinobat, Raja Rantau Kampar Kiri: Jalankan Amanah Dengan Baik
KAMPAR (Sunting.co..id) - H Raylus bersuku Melayu Darat dinobatkan sebagai Datuk Besar Van Kampar.
Disbudpar Kampar Segera Masukkan Iven Pokan Malako Kociak Dalam Kalender Pariwisata Kampar
KAMPAR (Sunting.co.id) - Masyarakat Kenegerian Malako Kociak Desa Tanjung Bering.
Tanjung Beringin Panen Ikan Lubuk Larangan, Barau yang Jadi Rebutan
KAMPAR (Sunting.co.id) - Masyarakat Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri.
Gelar Diskusi Kebudayaan, Ratusan Peserta Penuhi Beskem KSB Rumah Sunting
PEKANBARU (Sunting.co.id) - Komunitas Seni Budaya (KSB) Rumah Sunting menggelar .