Pilihan +INDEKS
Kisah yang Hilang di Balik Gemerlap Batam: Nasib Suku Darat
Oleh: Naning Ika Jayanti
BATAM. Saat mendengar pulau ini, Saya, atau mungkin sebagian besar dari kita, selalu terbayang hiruk pikuk industrialisasi. Faktanya, pulau ini memang riuh dengan kegiatan industri dan kehidupan yang seakan tidak pernah istirahat. Secara faktual jalur pelayaran Batam adalah salah satu dari yang tersibuk di dunia karena berdekatan langsung dengan dua bangsa lain, yaitu Singapura dan Malaysia. Untuk Indonesia sendiri Batam merupakan 10 besar penghasil devisa berkat lokasinya yang sangat strategis. Sepertinya kita sudah bisa sedikit membayangkan betapa hektiknya pulau yang luasnya kurang lebih 415 km2 dan menampung hampir 1,3 juta orang ini. Batam, bak jantung industri yang tidak pernah tidur.
Mundur ke belakang, administrasi dan pemerintahan dalam kerangka kerja di Batam dimulai pada masa kolonial (18 Desember 1829). Kemudian di tahun 1970, setelah Indonesia merdeka, presiden memberi hak otonomi untuk landasan penguat situs industri strategis. Singkat cerita, sejak saat itu pulau ini berubah dengan cepat. Infrastruktur menjulang dan dipenuhi oleh pendatang dari berbagai etnis. Batam seakan menjelma menjadi miniatur Indonesia, sebuah pulau multikultural yang hidup dalam harmoni unik dan didorong untuk menjadi penghasil salah pundi devisa terbesar bagi negara.
Suku Darat: Mereka yang Tersingkir Akibat Modernitas
Namun, di balik narasi kemajuan yang gemilang ini, tersimpan sebuah ironi yang memilukan: nasib para penghuni aslinya. Jauh sebelum hiruk-pikuk kapal dan pabrik, Batam adalah rumah bagi Suku Darat. Mereka adalah penduduk pribumi yang kini, di tengah kemegahan pulau, justru hampir punah.
Sejarah mencatat bahwa seiring pembangunan Batam menjadi pusat industri, sebagian besar penduduk asli ini telah terpaksa berpindah ke tempat lain. Eksistensi Suku Darat kini sangat sulit ditemukan di Batam itu sendiri, banyak dari mereka yang tersisa kini tinggal di Pulau Rempang. Jumlah mereka sangat sedikit, sebuah laporan pada tahun 1975 mencatat hanya ada 19 orang dari Suku Darat. Seperti mencari jarum di atas tumpukan Jerami.
Meskipun jumlahnya saat ini meningkat menjadi sekitar 50-60 jiwa—sebagian besar karena perkawinan campur—populasi mereka tetap terancam. Mereka tetap menjadi kaum minoritas yang rentan. Menurut saya ini adalah fakta yang sangat mengkhawatirkan, bisa saja mereka akan punah jika tidak mendapat perhatian dari kita.
Sebuah Kontradiksi di Jantung Industri
Inilah inti dari kontras Batam: pulau yang kaya, tetapi masyarakat aslinya hampir punah. Pulau Batam menjulang sebagai gerbang ekonomi dan etalase modernitas, tapi ironisnya suku asli pulau ini yang telah mendiami rimba dan perairannya sendiri justru berada di ambang kepunahan, terdesak oleh industrialisasi, dan mulai kehilangan identitas kultural mereka.
Batam seakan anomali antara geografis dan sosiologis. Dalam kurun waktu beberapa dekade, ia menjadi zona perdagangan bebas dan kawasan ekonomi khusus dari yang semula adalah hutan belantara dan pulau nelayan. Jalan-jalan lebar dan pabrik-pabrik raksasa dibangun di atas tempat dahulu suku asli berburu. Pulau yang menjadi persimpangan bangsa dan etnis baru, para pendatang dari dalam dan luar negeri berbondong-bondong masuk membawa serta ambisi, bahasa, dan kebudayaannya masing-masing. Di satu sisi mereka adalah penggerak industri yang menjanjikan kemakmuran, namun di sisi yang lain dalam migrasi besar-besaran itu Batam seperti kehilangan identitasnya.
Label prestisius Batam sebagai “jantung industri” dan pencapaian perolehan devisanya yang fantastis secara sistematis menghilangkan jejak kebudayaan suku asli. Cara hidup Suku Darat yang tradisional dan menyatu dengan alam dianggap tidak sejalan dengan modernitas. Suku asli tidak hanya kehilangan tanah mereka tetapi juga kehilangan panggung kebudayaan mereka. Bahasa dan ritual mereka terus tenggelam, digantikan “bahasa pasar” dan “ritual pabrik”.
Batam bagai sebuah cermin di mana Saya melihat bagaimana pembangunan ekonomi seringkali mengorbankan budaya dan pribumi. Pulau yang begitu maju ini memiliki sisi gelap di mana modernisasi dan perputaran uang yang sangat cepat melupakan kisah-kisah tentang orang yang kehilangan tanah dan warisan mereka sendiri. Mereka adalah suara-suara yang tertelan besarnya ombak kemajuan.***
[ Ikuti Sunting.co.id ]
Berita Lainnya +INDEKS
Awal Singingi: Sebab Indarung Tanah yang Sama
Desa Pangkalan Indarung adalah desa yang berbatas langsung dengan Sumatera Barat. Sejak desa ini .
Piaw Terbaik, Warisan dari Tarusan
Masyarakat di kawasan Rimbang Baling atau di sepanjang Sungai Subayang dan Bio, sangat berg.
Yang Istimewa di Cagar Alam Bukit Bungkuk
Semesta kian megah ketika jantung rimba raya bisa dirasakan dengan mewah. Tenang, sejuk, dan rupa.
Roy Marten Heran Anak-anaknya Masih Jomblo
Aktor Roy Marten tengah dibuat heran oleh dua putranya, Gading Marten dan Gibran Marten. Hingga k.
Anak Lahir di Tahun Terberat, Tantri Kotak Berharap Jadi Generasi Kuat
Tantri Kotak mengungkapkan harapan untuk anak-anak yang lahir di tahun ini menjadi generasi yang .
Surya Saputra Ngaku Selalu Mellow Setiap Kali Momen Ini
Aktor Surya Saputra belum lama ini merayakan ulang tahunnya yang ke-45. Ia pun sempat membagikan .



.jpg)



