Kanal

Gelar Diskusi Publik dan Bedah Buku, Walhi Riau Bicara Kekuatan Perempuan Melawan Industri Ekstraktif

PEKANBARU (Sunting.co.id) – Walhi Riau memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) dengan menggelar diskusi publik dan bedah buku, Kamis (4/12/2025) di kantor Walhi, Jalan Belimbing, Pekanbaru. Kegiatan yang mengusung tema ‘’Kekuatan Perempuan Adat Melawan Industri Ekstraktuf’’ ini dihadiri puluhan peserta dari berbagai kalangan. Mulai dari komunitas, penggiat lingkungan, mahasiswa dan masyarakat umum.

Walhi menghadirkan tiga pembicara perempuan. Mereka adalah Dina Reski Putri dan Depi dari Walhi Riau serta Siti Maimunah Direktur Mama Aleta Fund yang juga penulis buku Sentara Kami Adalah Upacara Adat yang menjadi bahan diskusi. Diskusi ini sendiri dipandu oleh Fachrul Adam dari Perkumpulan Elang.

Kunni Masrohanti, Dewan Daerah Walhi Riau mengawali kegiatan tersebut dengan menyampaikan sekapur sirih. Kunni, atas nama Walhi mengucapkan terimakasih kepada seluruh narasumber yang telah menyediakan waktu untuk bersama-sama hadir dalam kegiatan tersebut. Kunni juga berharap kegiatan ini menjadi inspirasi skhususnya bagi perempuan sebagai upaya pendokumentasian nilai-nilai luhur kebudayaan dan perlindungan terhadap sumber daya alam.

‘’Ada banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran dalam setiap perjumpaan. Hari ini Walhi menggelar diskusi publik dan mengupas buku berjudul Senjata Kami Adalah Upacara Adat dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten. Ini juga sumber pengetahuan dan penyemangat. Di sana banyak perempuan-perempuan hebat yang berjuang tanpa lelah, bukan hanya untuk kaumnya tapi juga untuk budaya dan alamnya. Ini harus menjadi inspirasi khususnya bagi kita para perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan akibat industri ekstraktif saat ini. Ketika ancaman itu terjadi, paling tidak kita tahu bagaimana cara mengatasinya. Semoga kita semua jadi pejuang bagi tanah lahir kita dan menginspirasi orang lain atas gerakan-gerakan yang kita lakukan,’’ kata Kunni.

Perempuan-perempuan hebat dalam buku Senjata Kami Adalah Upacara Adat adalah Mama Aleta Cornelia Baun atau Aleta Baun (penjaga Gunung Batu Mollo, NTT), Maria Loretha (perintis kebun sorgam di Adonara, Adonara, Flores), Jull Takaliuang (pembela Pulau Sangihe), Mardiana (balian, dukun kampung, seniman asal Dayak, Kalteng), dan Gunarti (pejuang pegunungan Kendeng dengan doa dan pelambang tubuh-alam).

Siti Maymunah yang juga penulis buku tersebut, menjelaskan, lahirnya buku ini  berawal dari proses yang dimulai dengan napak tilas dengan melihat perjalanan para perempuan indpiratif yang ada dalam buku ini. Mereka belajar dari alam, leluhur dan tubuh-tubuh kita. Penyusunan naskah merupakan salah satu proses panen pengetahuan dengan tiga tahapan, yakni, peyusunan profil, photovoice dan nompah.
‘’Kisah tentang perempuan-perempuan inspiratif meski perempuan disebut sebagai sosok yang emosional. Tapi ini penting karena tanpa emosional tidak ada perlawanan. Dasar perlawanan itu ya, emosional. Perempuan selalu menjadi dampak dari kekerasan sosial dan juga sumber daya alam,’’ kata Maimunah.

Maimunah juga berbagi tentang kondisi masyarakat adat dan perempuannya saat ini di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu tentang upaya pengalihfungsian lahan hutan oleh  banyak pihak baik pengusaha atau korporasi yang berpengaruh besar pada perubahan kearifan lokal. 

‘’Mari kita tetap mengkaji ulang tentang tantangan-tantangan yang ditemui saat berhadapan dengan masyarakat adat, bukan hanya di Riau atau Sumatera saja tapi di banyak wilayah di Indonesia. Karena bicara masyarakat adat saat ini tidak lagi bicara soal homogen. Bahkan perempuan yang tertulis dalam buku ini juga mendapat tantangan dari kelompoknya sendiri. Jadi tidak mudah menjadi pejuang budaya dan alam perempuan. Harus kerja lebih keras lagi,’’ kata Maimunah lagi.

Sri Depi Surya Azizah dalam pembacaannya terhadap buku tersebut mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Lalu ia membeberkan tentang kondisi perempuan adat di Riau. Mulai dari masyarakat dan perempuan adat Suku Sakai di Bengkalis, Suku Akit di Pulau Rupat, perempuan adat di Pulau Mendol, perempuan adat Talang Mamak di Inhu dan beberapa lainnya.

‘’Banyak industri ekstraktif yang berdampak bagi masyarakat dan perempuan adat di Riau. Mulai dari Suku Akit, Talang Malang, Sakai, Pulau Mendol dan lain sebagainya. Terhadap air, alam lingkungan, perempuan paling terdampak atas kerusakan-kerusakan akibat industri ekstraktif ini seperti tambanag di Inhu, perusahaan kertas, migas dan sebagainya,’’ kata Depi.

Sementara itu, Dina Reski Putri, mendedah buku berjudul Berontak sebagai Syarat Kehidupan. Katanya, buku ini ditulis untuk pengingat bahwa perempuan juga bisa bergerak memperjuangkan ruang hidupnya yang dirampas oleh oligarki. Sistem kapitalisme yang akan merenggut masa depan anak cucunya kelak, membuat perempuan menjadi garda terdepan untuk melindungi hal itu. Karena perempuan yang paling merasakan dampaknya. 

Dina juga menyampaikan catatan tentang perjuangan dalam buku tersebut. Di antaranya adalah Maria (nama samaran) dan beberapa perempuan dari tanah Sangihe yang memperjuangkan tanah mereka sendiri. Ketika perempuan melawan, berarti ada hal maha penting diperjuangkan. Kehadiran tambang menciptakan daya rusak bagi ruang hidup masyarakat. Ia menghancurkan lingkungan hidup, merusak sumber pangan, budaya, ekonomi sampai kesehatan masyarakat. 

‘’Perempuan paling terdampak dalam krisis multidimensi ini. Mereka berada di garis depan melawan dan berjuang. Perjuangan para perempuan seperti Mama Yosepha Alomang, perempuan Sangihe, ibu-ibu Wae Sano, wadon Wadas dan Dairi, melawan tambang itu demi kelestarian lingkungan hidup dan menjaga keberlangsungan generasi mendatang. Jangan sampai cerita tentang hutan dan alam yang indah hanya menjadi dongeng pengantar tidur untuk anak cucu kita kelak. Mereka hanya merasakan udara yang kotor, hutan yang gundul, sungai yang kering, dan bencana alam yang semakin sering dan dahsyat. Di Riau, para perempuan Batu Ampar memperjuangkan tanah mereka dari ancaman proyek tambang batu bara yang merusak dan menyengsarakan kehidupan masyarakat di sana,’’ kata Dina panjang lebar.

Kegiatan diakhiri dengan tanya jawab bahkan berbagi pengalaman dan mimpi untuk perempuan, masyarakat adat dan lingkungan Riau yang lebih baik.(*)
 

Ikuti Terus Sunting.co.id

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER