Pilihan +INDEKS
Malarung Nazar dan Bening Sungai Subayang yang Hingar Bingar

Laporan, TIM Sunting.co.id
Tiba-tiba suara lantang itu terdengar dari seberang Sungai Subayang. Piyau yang pelan menyisir riak menuju tepian. Suara lantang yang lain itu tiba-tiba muncul di antara kecipak Sungai Subayang. Suara-suara lainnya seolah bersama bunyi tak tuk tak tuk batu-batu. Dan sore itu, Malarung Nazar menjadi bintang.
NAMANYA Muhammad Ade Putra. Ia adalah penyair muda Indonesia dengan berbagai prestasi tingkal nasional dan internasional yang saat ini hendak memulai magister Antropologinya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia dari Siak Hulu, Kabupaten Kampar yang juga Sekretaris Jendral di Komunitas Seni Budaya Rumah Sunting. Dari jauh, suaranya terdengar lantang. Dari seberang ia bergerak, mengayunkan tubuhnya, menggerakkan tangannya di atas piyau, lalu menimang Subayang dengan indahnya, mengajak siapa saja untuk tidak menyakiti sungai itu. Pelan piyau (perahu mesin itu) sampai jua ke tepian.
Seorang pemuda, di antara piyau-piyau yang berderet dengan mesin tertutup benen hitam, asyik pula memain-mainkan batu di tepian Subayang itu. Dia adalah Ibam seniman cukil dari Indramayu Jawa Barat. Ia berbicara dengan batu itu, dengan dirinya sendiri. Ia terus mencoba meyakinkan bahwa Sungai harus dijaga. Sungai adalah teman setia. Di sana hidup dan kehidupan selalu ada. Sesekali dia terbaring, duduk, berdiri, melihat wajahnya yang jelas di air, mengganti pakaiannya, membasuh wajahnya, memasukkan tubuhnya ke dalam sungai, dan kemudian tertawa bahagia. Ia terus berkata bahwa memeluk sungai adalah pahala, merawat sungai adalah menjaga kehidupan yang sesungguhnya.
Seseorang yang berjalan di antara bebatuan dari arah sebelah kiri sungai, bersenandung lantang mengucapkan salam kepada Subayang dan Malako Kociak yang damai. Ia mendekati lelaki yang bermain batu itu. Ia terus melontarkan kata-kata cinta kepada Malako Kociak yang purna. Suaranya merdu. Kekagumannya berujung bada syukur dan tahlil yang panjang. Ia adalah Muhammad Sholeh Arshatta seniman dari Indragiri Hulu (Inhu).
Wajahnya seakan koyak dan menghitam. Tubuhnya menjadi satu dengan Sungai Subayang. Tapi iya mengaku bangga dan ikhlas jika harus dilarungkan ke dalam sungai itu. Muhammad Asqalani dan Muhammad Khudri alias Om Brewok adalah seniman asal Rohul dan Rohil yang terus menyuarakan kebanggan menjadi bagian dalam prosesi Semah Antau. Mereka berperan sebagai kerbau-kerbau yang dalam prosesi itu kepalanya dilarungkan ke dalam sungai.
Namanya pula Amrullah sang penari dari Indragiri Hilir. Dengan pakaian serba putih, kain-kain putih yang melilit tubuhnya, ia berlari ke tengah sungai. Berdiri tegak di atas kayu tinggi di tengah sungai. Ia menggerakkan tubuhnya, mengibarkan kain-kain putih ke muka Subayang yang jernih. Lalu menceburkan tubuhnya dan disambut bahagia oleh yang lainnya. Ia adalah lambang kesucian niat ketika nazar dilarungkan.
Sosok putih yang menari itu kemudian ditarik keluar sungai menuju tepian. Tubuhnya mengayun ke kanan dan kiri. Terus mengayun di antara teriakan orang-orang yang memuja dan memuji, berharap nazar bisa terpenuhi, berharap negeri damai dan bestari, masyarakatnya tenang setiap hari. Hingga benar-benar sampailah ia ke tepi.
Tidak ada yang bersuara. Tidak ada yang mengalihkan perhatiannya kepada yang lain kecuali hanya kepada para seniman yang sedang akting di tengah sungai itu. Inilah mereka, ratusan masyarakat Kenegerian Malako Kociak Desa Tanjung Beringin yang menyaksikan pertunjukan Teatrikal Puisi Malarung Nazar di tepian Sungai Subayang, 14 Desember 2024.
Ada wajah bahagia, heran, kagum, kadang tertawa, kadang tegang. Wajah-wajah yang tidak pernah menyaksikan pertunjukan secara langsung, apalagi di tengah bentangan sungai tempat mereka bermain, mandi dan mendayung piyau setiap hari, sungai yang bagi mereka hanya sebagai satu-satunya jalan keluar kampung, sungai yang hingar bingar hanya karena aktivitas mereka, bukan karena pertunjukan seperti yang mereka saksikan sore itu.
Apalagi saat melihat dua sosok aktor berpakaian putih serupa kiyai dan berpakaian agung serupa Imam Bonjol yang tiba-tiba muncul dari arah kanan Sungai Subayang. Mereka adalah Al Rahim Sekha seorang aktor dan sutradara teater asal Rokan Hilir (Rohil) dan Arbi Tanjung seorang penyair dan sejarawan yang diundang khusus dari Pasaman Barat, Sumatera Barat (Sumbar).
‘’Sungai Subayang ini, bentang alam Rimbang Baling ini adalah rumah tempat kita dilahirkan. Di sinilah kita hidup dan akan mati. Rumah ini mesti kita jaga agar tetap utuh, agar tetap sejuk. Kita jaga rumah ini. Jangan rusak rumah ini. Rumah tempat pulang anak cucu hingga nanti. Biarkan airnya tetap jernih. Biarkan hutannya tetap utuh. Biarkan ikan-ikan di lubuknya yang kita larang tetap damai. Jangan sampai keruh sebab ikan akan hilang. Hilanglah juga separuh kehidupan. Tempat ini memberi kita kehidupan dan kebahagiaan. Maka, tidak ada alasan untuk kita tidak mencintai negeri ini. Tidak ada alasan untuk kita tidak menjaga tanah ini,’’ seru tokoh tersebut.
Kolaborasi Seni Konservasi dan Residensi
Cerita panjang ini adalah sebuah pertunjukan kolaborasi seni konservasi oleh seniman-seniman yang sedang mengikuti program Residensi Seniman Riau tahun 2024 dilaksanakan Komunitas Seni Budaya Rumah Sunting di Kenegerian Malako Kociak, Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, 12-15 Desember.
Mereka, selain meciptakan karya dengan melibatkan masyarakat dari berbagai usia dalam program itu, juga diwajibkan menggelar pertunjukan bersama atau kolaborasi sesama seniman. Pertunjukan ini diberi nama Kolaborasi Seni Konservasi. Konsep dan bentuk pertunjukan, termasuk naskah, digarap langsung oleh Founder Komunitas Seni Budaya Rumah Sunting yang juga sutradara teater perempuan Riau, Kunni Masrohanti. Sedangkan Alang-Alang Khatulistiwa yang juga penyair serta salah satu Sunting Squad, berperan sebagai penata panggung.
Malarung Nazar adalah judul puisi karya Kunni sendiri yang tercantum dalam buku puisi tunggalnya berjudul Kotau. Puisi ini kemudian dialihwahanakan dalam bentuk teatrikal dengan menjadikan bantaran Sungai Subayang dari ujung ke ujung, tepatnya di lokasi pemandian warga, sebagai panggung pertunjukan terbuka. Aktor diberi peran sesuai arahan sutradara.
Kata Kunni, Malarung Nazar adalah ruh dalam prosesi Semah Antau. Sebab, Semah Antau adalah bentuk ekspresi kebudayaan masyarakat Tanjung Beringin dalam mengungkapkan rasa syukur karena selama setahun lepas kampung dan masyarakatnya dalam keadaan aman, tidak diserang binatang buas baik di sungai atau pun di darat. Juga sebagai ekspresi masyarakat dalam menanamkan niat atau nazar bahkan kegiatan tersebut akan dilaksanakan kembali tahun depan.
Salah satu proses tersebut adalah melarungkan kepala kerbau ke dalam Sungai Subayang, tepatnya perbatasan antara Desa Tanjung Beringin dengan Desa Gajah Betalut. Selain menyembelih kerbau dan kepalanya dilarungkan ke dalam sungai, Semah Antau juga ditandai dengan ziarah makam Datuk Pagar atau tokoh yang dianggap mampu berdailaog dengan penguasa rimba yakni harimau. Maka keluhuran prosesi tersebut perlu terus digaungkan, disosialisasikan sehingga semakin terjaga keberadaannya, termasuk dengan jalan seni pertunjukan.
‘’Mengapa namanya panggung seni konservasi karena keseluruhan ide dan garapan pertunjukan ini memang terkait harmonisasi masyarakat Rimbang Baling khususnya Desa Tanjung Beringin dengan alam sekitar baik di darat maupun di sungai. Maka, sungai dan segala yang ada di sana, baik batu, air, piyau, kayuh dan apa saja harus bisa menjadi panggung dan properti pertunjukan. Seniman harus mampu bersuara keras melawan suara arus yang deras, mampu menggunakan properti alam sebagai penguat pesan yang disampaikan dalam pertunjukan itu, mampu menyuarakan kebaikan dan kemuliaan sungai serta alam yang telah memberi kehidupan dan udara segar kepada orang banyak,’’ kata Kunni.
Pertunjukan dengan durasi sekitar 1 jam itu mengundang perhatian masyarakat setempat. Tepian Sungai Subayang tumpah ruah oleh penonton.
Kunni mengucapkan banyak terimakasih kepada berbagai pihak yang mendukung terlaksananya Residensi Seniman Riau II yang dilaksanakan Rumah Sunting tersebut. Baik itu masyarakat dan pihak-pihak lain seperti Yayasan Pendidikan Konservasi Alam Indonesia (YAPEKA) yang selalu menggandeng Rumah Sunting dalam kerja-kerja kebudayaan selama ini, tanpa terkecuali para seniman yang tergabung dalam Program Residensi Seniman Riau II tersebut.
‘’Tanpa kolaborasi, tanpa dukungan banyak pihak, sulit bagi kami melaksanakan Residensi Seniman tahun ini. Apalagi membawa seniman banyak ke kampung orang. Untung semua didukung oleh masyarakat, Datuk Ninik Mamak, kepala desa, camat dan teman-teman YAPEKA yang selama ini memang selalu menggandeng kami dalam melaksanakan kerja-kerja kebudayaan. Terimakasih berlebih-lebih kepada para seniman yang membersamai residensi tahun ini. Terimakasih keluargaku, masyarakat Tanjung Beringin atas antusias dan kolaborasi yang diberikan sehingga peserta residensi menghasilkan karya seni. Semoga kehadiran kami semua menjadi penyemangat baru, menjadi inspirasi untuk terus berkarya serta melestarikan alam dan budaya,’’ sambung Kunni lagi.(*)
[ Ikuti Sunting.co.id ]
Berita Lainnya +INDEKS
KSB Rumah Sunting Persembahkan Teatrikal Puisi Berjudul Datuk Pagar di HPN 2025
PEKANBARU (Sunting.co.id) - Pertunjukan Teatrikal Puisi berjudul Datuk .
Rumah Sunting Gelar Residensi Seniman Riau 2024 di Malako Kociak
KAMPAR (Sunting.co.id) – Komunitas Seni Budaya Rumah Sunting Riau kembali meng.
Terpulang, Rangkaian Bunga dan Airmata Bangga
Laporan, TIM Sunting.co.idKisah ini memang tentang kami yang saat ini .
Yayasan Laksmana Gelar Pastakom XI, Tiga Seniman Kawakan Riau Ambil Bagian
PEKANBARU (Sunting.co.id) – Yayasan Pelatihan Tari Laksmana Kota Pekanba.
“Sayap-Sayap Proklamasi” Lahir dari Riset Mendalam
PADANGPANJANG (Sunting.co.id) —Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang tengah mempersiapkan pertun.
Kuflet Pentaskan Karya Teater Berjudul Sayap-Sayap Proklamasi
Kuflet Pentaskan Karya Teater Berjudul Sayap-Sayap ProklamasiPANDANGPANJANG (Sunting.co.id.