Sunting.co.id - PUISI dapat terlahir atas sinkronisasi antara diri, alam, dan ruang imajinasi yang seakan membantu merancang ide dan gagasan, sehingga membentuk dunia baru yang dinamakan sastra (puisi).
Bachelard menyebutkan imajinasi puitis (poetika) dalam penelitiannya adalah bagaimana api dapat memilki makna yang sebenarnya bukan api, bahkan bisa lebih besar dari pada api itu sendiri, begitu juga dengan air, tanah dan lainnya, keadaan tersebut membantu untuk menyelesaikan narasi-narasi dan mendekatkan kehidupan masyarakat yang dapat pula dijadikan fenomena poetika. Melihat salah satu buku puisi karya Sulaiman Juned yang berisi 55 puisi diterbitkan oleh Salmah Publishing dengan judul Rajah, bisa saja dijadikan bandingan sehingga dapat didekatkan atas penjelasan sebelumnya.
Perjalanan panjang mengantarkan ke beberapa peristiwa yang bisa saja tidak pernah “kita” alami. Seperti, hidup di antara bayang-bayang pembantaian, mesiu melintas dari depan mata, kehilangan keluarga dalam bencana alam, penggusuran, dan kelaparan, keadaan seperti itu “mungkin” tidak setiap orang mengalami. Hal tersebut menjadi satu diantara banyaknya kerangka berpikir dalam puisi-puisinya, menjamah fenomena sendiri ke dalam dunia imajinasi ruang di luar diri bukan semata-mata mudah dilakukan, atau menyatukan hal di luar diri ke dalam diri sendiri. Buku puisi yang berjudul Rajah, diambil dari salah satu puisi yang termaktub di dalamnya. Secara tidak langsung ini adalah upaya membentuk, menarik ulur keadaan antara kita dan kota, kita dan alam, bahkan kita dan kata. Menarik-ulur peran keadaan sosial sebagai titik fokus, mendekatkan perspektif sastra dan masyarakat. Dengan kata lain, melalui buku ini hadir sebagai upaya melihat budaya, keadaan sekitar, menelisik lebih dalam romansa Aceh yang mendarah-daging dalam karya dan dirinya. Menjahit perangkat demi perangkat agar berdiri kokoh di depan masyarakat. Seperti penggalan puisi yang berjudul:
Ujung Baro.
siapa yang telah mengalirkan darah
sepanjang Lut Tawar hingga dendam
terpelihara.
Seolah-olah Ia “Sulaiman” mempertanyakan siapa yang mengalirkan darah, sehingga di antara kita saling mendendam. Lut Tawar sebagai objek yang menjadi diri atau di luar diri berupaya memilki makna yang sangat meluas, mendalam, sebagai aspek penghidupan dalam setiap masyarakat yang ada di Takengon. Meskipun, sebenarnya Ia bisa saja membawa kita “pembaca” kearah yang lebih mendalam terkait Lut Tawar dalam puisinya. Namun, pemaksaan atas teks yang gantung, membuat kita mencari tau apa dibalik itu sebenarnya.
Ketika ada yang mengalirkan “darah”, bagi Ia adalah kejahatan, dendam, kekecewaan, maka membuat kita bermusuhan. Melalui puisi ini Ia merasakan kekecewaan yang mendalam, sehingga pada penutup puisi tersebut menyampaikan keinginannya. Puisi menjadi alat ucap, sebagai media komunikasi antara penyair dengan alam, penyair dengan masyarakat, penyair dengan imajinasi, bahkan penyair dengan diri sendiri, bahwa ada yang lain diantara kita sehingga harus dibincangkan. Salah satunya ialah penggalan akhir dari puisi ini semacam ada narasi kecewa yang dialami.
siapa yang telah menghidupkan api
membakar perigi membumbung asap
di jiwa.
(padamkan asap biar tak jadi api, Ah!)
Jiwa telah terpenuhi asap, membuat samar dalam menjalani kehidupan antara kita, sekalipun itu keluarga sendiri, akibat api yang telah berkobar, siapa yang telah melakukan hal tersebut tidak dapat diberikan ampun. Ia hadir sebagai pengalaman dalam beberapa tahun silam, puisi tersebut ditulis pada 2017, pada tahun tersebut Ia melihat peristiwa itu terjadi, atau menelisik lebih dalam pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, dalam puisi ini Ia hanya kebanyakan mempertanyakan, solusi dari akhir, pencapaian dari puisi rasanya datar sehingga ketika dibaca berulang hanya memiliki satu keinginan.
Terlepas dari keadaan yang ada, sosiologi dan kultur budaya akan menjadi satu di antara keinginan untuk mendekatkan beberapa puisi di dalam buku Rajah, agar jembatan antara kita saling sampai ke dataran Aceh. Melirik terhadap pandangan Faruk bahwa sosiologi sastra adalah ilmu pengetahuan yang mampu menghubungkan antara hasil karya manusia dengan kehidupan yang ada dalam masyarakat. Sehingga, Ia rasanya berhasil atau tidak tergantung atas pandangan masing-masing penikmat. Jika mengunci dari Faruk, maka satu puisi di atas mampu menjawab bahwasanya ini adalah bagian dari sosiologi.
Puisi lainnya dalam buku ini ialah Aku Tabur Bunga Di Pusara Bernama Aceh, bukankah dengan ini terlihat bahwa potret keadaan di sana sedang berkabung, penaburan bunga di jantung kota, masyarakat kehilangan tawa, siapa lagi akan mecari jejak kenangan sedangkan kematian telah diambang pintu.
aku tatap kota melesat dalam waktu berkalang maut
orang-orang menanggalkan hati satu demi satu. Ini
tubuh siapa punya memanggil-manggil Tuhan di setiap aliran
nadi.
Keadaan duka telah hadir dalam diri, nurani siapa yang tidak terpanggil ketika setiap orang menjeritkan nama Tuhan dalam nadi (jiwa, suara, ruh). Itulah yang dirasakan dalam menuliskan puisi ini. Di tanah kelaihran terlihat tubuh-tubuh terpapar di jalanan, ketika membaca secara menyeluruh serasa darah menderas di setiap aliran sungai, ombak di lautan, segala airmata menyelimuti langit. Sedalam makna dan ucapan selamat tinggal yang ditulis pada 2014/2018, seolah membawakan kain hitam dan bunga untuk setiap yang datang.
Puisi Rajah yang dibuka dengan bahasa Aceh mengisyaratkan keadaan seorang tabib entah itu menyembuhkan penyakit, atau melawan adanya mistik atas kiriman orang ke tubuh orang lain. Puisi yang dijadikan judul tersebut seakan-akan membawa pesan singkat bahwasanya segala hal, di mana dan kapan saja, tidak terlepas dari dunia ritual. Seperti Pembuka puisi di bawah ini.
(kurajah
kurajen
puleh nyoe
teuka laen)
Ketika membaca lebih dalam, ke pokok isian puisi ini menggiring seorang untuk merindukan mantra, membaca mantra dan akan terikut oleh arus yang “mungkin” dapat merasuki pikiran dan jiwa, atau jangan-jangan ini adalah “mistik” yang dilakukan sulaiman untuk memikat para penikmat dengan memilih judul Rajah.***
Penulis;
Ubaidillah Al Anshori merupakan Alumni Pascasarjana ISI Padangpanjang, bergiat di Fokus dan Tugu Sastra Siantar.