PEKANBARU (Sunting.co,id) - Komunitas Seni Budaya (KSB) Rumah Sunting mendapat undangan untuk tampil di panggung Festival Teater Sumatera (FTS) III dengan tema Hutan, Pangan, Air dan Ingatan yang digelar 24-25 September 2025 di Taman Budaya Sri Wijaya, Palembang. Kali ini Rumah Sunting membawakan naskah berjudul Datuk Pagar. Naskah ini ditulis dan disutradarai langsung oleh Kunni Masrohanti sang pendiri Rumah Sunting.
Naskah Datuk Pagar terinspirasi dari kehidupan seorang tokoh masyarakat adat bergelar Datuk Pagar yang tinggal dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Rimbang Baling di Kabupaten Kampar, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, sebuah kawasan yang dicatat Balai Besar KSDA Riau sebagai kantong harimau terbesar di Provinsi Riau.
Datuk Pagar sendiri adalah sosok yang dipercaya mampu berdialog dengan harimau. Dialog dilakukan melalui sebuah ritual. Meski sudah meninggal dunia sejak ratusan tahun silam, ritual yang dilakukan Datuk Pagar itu masih dijalankan masyarakat adat hingga kini. Ritual tersebut disebut Semah Antau Semah Nagoghi.
Jika Semah Antau adalah sebutan ritual di Kampar Kiri Hulu, maka di desa atau kabupaten lain memiliki nama yang berbeda. Ada Semah Kampung, Bele Kampung, Semah Tanah dan sebagainya. Maksud dan tujuannya sama, tapi hasil selalu beda. Ritual dilakukan tapi masyarakat tetap saja konflik dengan harimau.
Sebab konflik ini sangat beragam. Salah satunya karena hutan yang semakin terbuka dan beralih fungsi jadi perkebunan. Kearifan lokal dan adat istiadat semakin hilang. Tokoh masyarakat atau Ninik Mamak berubah peran. Hutan dan tanah ulayat jadi milik perusahaan. Akibatnya juga sangat banyak. Mulai dari banyak masyarakat yang meninggal, terluka atau trauma karena diserang harimau, hingga masyarakat yang harus berhadapan dengan hukum karena kasus tanah ulayat.
‘’Datuk Pagar adalah judul naskah teater yang Saya tulis setelah melakukan riset panjang, khususnya di lingkungan masyarakat adat Rimbang Baling Kampar Kiri Hulu. Datuk Pagar sendiri nama seorang tokoh atau datuk yang dinilai mampu berdialog dengan harimau yang disampaikan dalam upacara adat yang disebut Semah Antau Semah Nagoghi. Dalam dialog dan upacara itu, Datuk Pagar meminta agar harimau tidak mengganggu anak kemenakan, tidak masuk kampung, tidak menampakkan rupa, tidak mendengarkan aum dan tidak membuat konflik dengan masyarakat. Di Rimbang Baling aman. Tapi di wilayah masyarakat adat lain seperti di Kabupaten Pelalawan lanskap Kerumutan, sering terjadi konflik. Di Kabupaten Siak lanskap Giam Siak kecil, sering konflik. Di Kabupaten Inhil juga sama. Di Teluk Lanus apalagi, sering masyarakat meninggal karena diterkam harimau,’’ kata Kunni kepada Sunting.co.id.
Kondisi konflik antara masyarakat dengan harimau disebabkan karena rusaknya hutan sebagai rumah harimau. Hutan yang rusak membuat ketersediaan pangan bagi harimau berkurang. Harimau tidak keluar hutan. Harimau tetap bermain di wilayahnya yang kini sudah berubah menjadi kebun sawit dengan orang-orang yang berkerja dan tinggal di dalamnya.
Konflik juga terjadi antara masyarakat dengan masyarakat yakni Ninik Mamak dengan anak kemenakan. Banyak Ninik Mamak yang menjual tanah ulayat karena tergiur uang yang banyak dari perusahaan atau cukong, kadang bukan untuk kepentingan anak kemenakan, tapi untuk diri sendiri. Proses runtuhnya kearifan menjaga tanah ulayat ini juga membuat kearifan lokal dan adat istiadat lain di lingkungan masyarakat adat semakin luntur.
Kearifan lokal hilang, perusahaan atau pihak-pihak lain berkuasa, hutan rusak dan harimau mengamuk di mana-mana. Ini ancaman nyata yang saat ini terjadi di Riau. Semua kisah itu tergambar jelas dalam naskah Datuk Pagar yang diperankan oleh empat aktor, yakni Datuk diperankan Ridwan Habib Nst, mandor perusahaan diperankan Wulandari, masyarakat diperankan Hesty dan tokoh perempuan bernama Mak Nap diperankan Alifah Salsabila.
‘’Ada tokoh dalam naskah Datuk Pagar bernama Mak Nap, seorang perempuan yang memang Saya ambil dari nama tokoh keturunan ke sebelas Datuk Pagar, Zainab. Sampai hari ini Mak Zainab masih hidup dan sehat. Setiap Semah Antau Semah Nagoghi dilaksanakan, Mak Nap adalah tokoh utama, tokoh yang berdiri paling delam dalam ritual tersebut. Mak Nap adalah simbol pelestarian alam, simbol konservasi yang masih teguh menjaga kearifan lokal dan adat isttiadatnya, meski Saya menyadari hutan Rimbang Baling juga semakin terbuka dan dalam ancaman beralih fungsi jadi perkebunan sawit,’’ sambung Kunni.
Sebelum Datuk Pagar menjadi naskah teater, Kunni sudah menuliskan terlebih dulu dalam buku budaya berjudul Harmoniasi Masyarakat dan Alam Rimbang Baling (2018) dan puisi berjudul Datuk Pagar yang tercantum di antara puluhan puisi dalam buku tunggalnya berjudul Kotau (2020). Adapun tim produksi Datuk Pagar yang terlibat dalam FTS III di Palembang ini yakni, Alang Alang Khatulistiwa sebagai penata artistik, Taufik Yendra Pratama sebagai pemusik, serta empat aktor lainnya.(*)