Kanal

Ratna Dewi (Aktivis Konservasi)

Kisah Dari Nagari Yang Tak Mengenal Pandemi

SEBENARNYA bukan hanya di Baduy, masih banyak kampung di pojok-pojok Indonesia jauh dari rengkuh pandemi. Kuatnya adat dan kearifan lokal yang menjaga mereka, belum jadi topik menarik bagi media dibandingkan hiruk pikuk kabar buruk. 

Salah satunya kampung tempat kerja lapangan Saya. Muaro Sungai Lolo, Nagari terhulu sungai Kampar yg persis berada di kaki bukit barisan, di belahan Pasaman, Sumatra Barat. Negeri penghujung yang dikelilingi hutan lindung berbukit-bukit dan anak-anak sungai yang permai. 

Sejak tanggal 20 Juni lalu, enam belas hari saya merasakan kembali nikmatnya hidup tanpa masker. Tentu saja juga tanpa sinyal internet, yang membantu saya menamatkan bacaan 4 buku yang tertunda hehehe.

Sudah 2,5 tahun Saya ulang alik ke nagari ini. Jauh sebelum Covid mewabah. Akses ke sana memang sungguh sulit. Jalan tanahnya dirintis dengan membelah bukit. Bukan satu, tapi beberapa sekaligus. Melingkar mengelilingi puncak yang satu menuju puncak berikutnya sebelum sampai di tujuan. Kiri kanan jalan adalah jurang. Lengah sedikit, nyawa taruhannya. 

Di beberapa bagian, rawan longsor, sehingga jika hujan lebat, akses kerap terputus. Hanya mobil jenis double gardan dan L300 yang bisa masuk ke sini. Selebihnya bakal mangkrak 3 jam sebelum mencapai nagari. Karena sempitnya, jika di tengah jalan ada mobil yang mengalami kerusakan atau terperosok, maka mobil di belakangnya tidak akan bisa lewat. Kita harus bersedia menolong kendaraan yang mangkrak untuk menolong diri kita sendiri sampai di tujuan. Indah bukan?.

Tentu saja selalu ada harga yang terbayar dari kesulitan menempuh akses masuk nagari ini. Indahnya alam raya yang dibentang sepanjang pandang dan jernihnya mata air dari sungai-sungai yang melingkari nagari ini, adalah penawar segala sukar. Belum lagi keragaman fauna dan bunga-bunga langka yang masih bisa kita temui di hutan-hutannya yang ranum. 

Saya beberapa kali berkata ke warga, jika akses jalan dibuat mudah, akan semudah itu pula mereka bakal kehilangan pokok-pokok kayu berusia ribuan tahun yang menjulang di relung-relung rimba larangan.

Motor adalah kendaraan sehari-hari warga untuk keluar masuk menuju Kecamatan atau tempat yang lebih jauh. Dulu, tentu saja perahu adalah moda transportasi utama, sebelum desakan membuka jalur darat, merangsek masuk ke topografi wilayah yang jauh dari cocok. 

Jarak kampung ini ke ibukota Kapubaten Pasaman adalah 5 jam. Hanya 1 jam terakhir yg berupa aspal mulus. Sulitnya akses jalan masih menyisakan beberapa warga yang seumur hidupnya tidak pernah keluar dari kampung. Sebaliknya, seluruh anak-anak muda usia SMA, melanjutkan sekolahnya keluar. Ada yang ke Rao, ibukota Kecamatan Mapatunggul Selatan, kampung asal Ariel Noah, artis kenamaan yang lebih dikenal orang sebagai musisi Bandung itu. 

Banyak juga yang bersekolah di Padang, Bukit Tinggi bahkan sampai ke Pekanbaru. Di nagari ini belum didirikan SMU. SMP terdekat yang pernah saya lalui, berada di dalam kebun karet. Menjorok jauh ke dalam. Dari jalan yang dilewati mobil, atap gedung sekolahnya saja tak tampak.

Di salah satu jorong (dusun) termiskin yang di sana masih tercatat kasus stunting, justru di jorong itu pula warganya dikenal sebagai penelur sarjana-sarjana berbakat. Di jorong terjauh itu, jangankan jaringan selular, PLN saja belum masuk. 

Mayoritas warga adalah petani gambir yang menghabiskan 5 hari dalam satu minggu di ladang-ladang mereka yang jauh dari rumah. Untuk ke jorong ini, dari kantor wali nagari saya harus menumpang boat (perahu motor) selama 2,5 jam. Tarif sewanya 900 ribu rupiah PP. Saking mahalnya, warga kerap berseloroh “Seribu rupiah lagi sampai ke langit”. 

Di jorong ini pula, mantan Presiden PDRI, Syafruddin Prawiranagara pernah memegang kendali pemberontakan PRRI selama enam bulan dari tempat persembunyiannya, sebuah gua dibalik air terjun rotan getah. Saya merekam kesaksian datuk tertua di sana tentang hadirnya ribuan pasukan yang menolak kesenjangan pembangunan pusat-daerah paska proklamasi. Jauh sebelum pandemi, nagari ini, punya sejarah berlawan yang mengesankan.

Di sisi lain, masih menjadi misteri bagi saya, bagaimana ibu-ibu di kampung ini mengatur keuangan rumah tangganya hingga di tengah keterbatasan yang miris, nyaris seluruh anak usia sekolah, bisa mengejar ilmu keluar. 

Di sini, harga bahan pokok saja mahal. Isi gas elpiji 3 Kg yang di luaran hanya 18-23 ribu, sampai di muaro harus ditebus dengan rupiah 45 ribu. Lantas bagaimana mereka mencukupi kebutuhan dasar dan tertier?. Hukum matematika biasa saya kira tak mampu menjelaskan. Juga pola pencatatan di mata kuliah akuntansi biaya. 

Dari kuesioner yang sempat dibagikan seorang dosen ekonomi yang kami datangkan dari salah satu universitas di Padang, diketahui bahwa ibu-ibu ini bahkan punya sistem arisan lebaran yang kuota rupiahnya bisa mencapai 50 juta. Amazing. Sepertinya di sini, keajaiban adalah bagian biasa dari hidup keseharian.

Anda mungkin menduga mereka punya sumber penghidupan yang lain, seperti dugaan saya sebelumnya. Tapi percayalah, saya bertandang sudah cukup lama hingga mengetahui sedikit banyak kondisi dapur mereka. Sulitnya penghidupan, memaksa mayoritas lelaki dewasa menjadi TKI di Malaysia. 

Sejak pandemi inilah, mereka dideportasi dan tidak bisa masuk lagi hingga kini. Dengan cara demikian mereka mengenal Covid-19. Sesuatu yang membuat mereka terusir. Bukan yang datang dan meradang.
 
Walau tak ada satupun warga yang terinfeksi, seluruh mereka tahu tentang si virus mungil. Apa pasal?. Televisi!. Ya. Walau tidak semua rumah memiliki TV, tapi mereka kerap menonton di rumah tetangga atau berkerumun di warung, terlebih di musim bola seperti sekarang ini.  

Anda tahu bagaimana stasiun-stasiun TV kita menyiarkan berita-berita tentang virus satu itu, bukan?. Sangat “hell well”. Tiap hari mereka diracuni kabar tentang semrawutnya penanganan Covid di luar kampung mereka. Debat para “pakar” tentang konspirasi dan jari jemari yang saling tuding. Serangan bertubi-tubi ke pemerintah. Jumlah kematian. Hingga fatwa haram dan selisih pendapat soal vaksin. 

Yang tak kalah berbahayanya, ibu-ibu dan gadis-gadis kecil dipaksa percaya bahwa seorang perempuan kota bisa menjadi sangat jahat di sinetron yang judulnya menyematkan kata “cinta”. Semua masuk dalam alam pikir dan membentuk citra mereka tentang dunia di luar sana. Betapa tak amannya Indonesia!

Sampai akhirnya perintah dari pusat tiba. Seluruh perangkat nagari, guru-guru kontrak, penerima PKH dan semua mereka yang setiap bulannya menerima “gaji” dari anggaran negara, wajib datang ke puskesmas kecamatan untuk divaksin. 

Dua hari sebelum jadwal, kampung dibuat sedikit riuh. Ada perangkat nagari dan warga penerima PKH (program keluarga harapan) yang menolak. Bagi mereka, berita TV tentang orang yang mati karena vaksin membuat gentar. 

Berita lain tentang ribuan orang rebutan ingin divaksin, dikalahkan oleh berita kematian. Namun mau tidak mau mereka harus pergi juga menerima suntik vaksin. Kata pak Camat, kalau tidak mau, gaji dan bantuan yang setiap bulan diterima akan ditunda. Seorang perangkat nagari yang termakan berita kematian, menulis surat wasiat untuk istri dan anak-anaknya. 

Saya harus berjaga-jaga, begitu ia berkata pada saya yang menjadi sasaran curhatnya. Para warga PKH (kategori sangat miskin) juga harus divaksin, padahal di nagari ini, mereka tergolong nyaris tidak pernah keluar kampung, saking besarnya biaya yang harus dirogoh untuk sekedar melala ke kecamatan.

Di sini, bukan Covid yang menerbitkan sakit. Tapi (maaf), berita-berita media yang nampaknya kian enggan mewartakan kabar menggembirakan.

Sungguh. Sekali lagi. Di tempat-tempat seperti ini, rupa berita jauh lebih berbahaya!

 

Penulis:

Ratna Dewi. Rakyat Biasa yang berkhidmat di konsrvasi. Sementara mukim di Pekanbaru sebelum bisa keliling dunia.

Ikuti Terus Sunting.co.id

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER