Ardi Susanti

Ahad, 11 Juli 2021

Ardi Susanti

Tiban

(ritual pemanggil hujan di pesisir selatan tulungagung)

telah ditiupkan mantra dan sebongkah dupa
pada sepasang lidi dari pelepah aren
dibawa seorang tetua
menuju pesisir di teluk popoh 

dua orang berhadapan
saling memecut tanpa dendam
diiringi mistis tetabuhan
dan gelegar ombak pantai selatan

duhai tanah kami telah kerontang
pesisir kami telah berdesir
datanglah hujan
datanglah hujan
datanglah hujan

konon jika darah telah jatuh ke pasir
maka hujan akan datang dan pesisir kembali basah
tiban tidak membuat kami mendendam
sebab kami adalah anak anak pewaris budaya
yang mencoba tawadu’ pada ibu tradisi

tiban tarian pemanggil hujan
saling melukai namun tak membuat kami terluka
sebab kami disatukan damba
tentang hujan yang menghidupkan semesta

 

Tungku di Rumah Ibu
           
mari kita pulang tuan pada rumah berpintu adzan berjendela dzikir saat senja hampir pamit dan hujan kian deras

ijinkan aku menjadi makmum dan mengamini alfatehamu sebab padamu aku menitipkan doa 

tuan seusai salam aku telah menyajikan secangkir kopi yang aku seduh dari tungku ibu sesaplah sepenuh hati lantaran ada rindu dan airmata di tiap teguknya

kita menghangatkan tubuh di tepian bara kau bercerita tentang muasal hujan yang tetiba menguasai lembayung 

aku tidak suka hujan itu membuatku menggigil; kataku
aku akan menghangatkanmu dengan lantunan alif lam mim; bisikmu

aku hanyut

tuan tungku ibu adalah rumah tempat semua rasa teramu sepenuh degup dan aku menjamumu di sini agar kau dapat merasakan sebuah meja makan yang bernama cinta


Jadilah Patung Jonggrang

ini bukan kutukan
ini muasal cinta yang tidak pada tempatnya

aku mau seribu candi
aku mau seribu patung

batu bertumpuk
batu bertumpuk

batu berpahat
batu berpahat

pada hitungan ke sembilanrarussembilanpuluhsembilan
ayam berkokok
dupa berkebul memenuhi semesta
langit wangi memerah kembang kenanga

kekuatan cinta tak mampu menembus rasa
sebab hati telah memilih senyap

jadilah patung, jonggrang
menggenapkan seribu candi pintamu
perihal hati
kau tak hanya mematahkannya
tapi membaluri dengan kecurangan

jadilah patung, jonggrang
menjaga seribu candi pintamu
menepati cintaku yang berbuah lara

jadilah patung jonggrang

 

Ardi Susanti
Lahir di Ngawi, 15 April 1975. Aktif mengikuti lomba baca puisi sejak SD, senang menulis sejak SMA dan karya-karyanya  dimuat di koran lokal   Jawa Timur. Bergabung di teater   Magnit   pimpinan Kusprihyanto Namma sejak tahun 1993, berkeliling pentas di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pendiri teater petjel SMAN Boyolangu Tulungagung dan teater Daun SMAN 1 Tulungagung.
Menulis puisi, cerpen, geguritan, dan naskah teater. Karya-karyanya terangkum dalam 60 buku antologi bersama dan 1 buku antologi tunggal. Mengikuti berbagai acara sastra dan di undang pada acara muktamar sastra nasional di Situbondo tahun 2018, lolos seleksi PPN 1X di Kudus tahun 2019, lolos  sekleksi  Musyawarah  Nasional  Sastrawan Indonesia  (MUNSI) ke-3  di   Jakarta. Sebagai penyaji terbaik lomba musikalisasi puisi dalam pekan seni guru se-Jatim tahun 2011, penulis terbaik dalam Festival Teater Budi Pekerti dan lomba penulisan naskah teater tingkat ProvinsiJawa Timur 7 kali berturut-turut (2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2014, 2015), dan juara 2 guru berprestasi bidang seni jenjang pendidikan dasar dan menengah tingkat  Jawa Timur tahun 2014, menerima penghargaan sebagai seniman berdedikasi bidang teater dari Gubernur Jawa Timur tahun 2019. Aktif melukis dan berpameran di beberapa kota besar di Indonesia. Tahun 2017  berpameran  di  Dallas, Amerika Serikat, menerima penghargaan apresiasi seniman lukis Jawa Timur dari Gubernur Jawa Timur tahun 2021. Saat ini bekerja sebagai  guru  Bahasa  Inggris dan waka kesiswaan  di SMAN   1 Tulungagung. Ardi aktif menulis dan bergabubg beraama Penyair Perempuan Indonesia (PPI).