Awal Singingi: Sebab Indarung Tanah yang Sama

Senin, 09 November 2020

Hulu Sungai Singingi di Desa Pangkalan Indarung, Kabupaten Kuansing. (Foto Sunting)

Desa Pangkalan Indarung adalah desa yang berbatas langsung dengan Sumatera Barat. Sejak desa ini ada, masyarakat sudah berpindah-pindah tempat tinggal. Dari rimba raya yang rendah, hingga ke tempat tinggi, tapi masih di tanah yang sama.

Laporan Tim Sunting.co.id

JAUH memang. Jalan yang ditempuh juga bukan jalan biasa, tapi jalan tanah. Naik turun bukit, licin dan berliku. 

Sejak dulu hingga saat ini, menuju Desa Pangkalan Indarung masih melewati jalan buruk. Meski tidak seburuk dulu, tapi masih ada bagian-bagian jalan yang sulit dilewati. 

Harus menggunakan kendaraan yang lebih khusus agar lebih mudah. Selain jalannya berbukit, melintasi sungai, juga masih merupakan jalan tanah yang licin saat hujan mengguyur. Tak sedikit mobil yang terpuruk di jalan saat melintasi jalan ini.

Kebun sawit menghiasi di sepanjang tepian jalan menuju Desa Pangkalan Indarung yang ditempuh sekitar 1,5 jam dari Desa Muara Lembu. Mayoritas milik perusahaan. Hanya sebagian kecil milik masyarakat. 

Tidak ada rumah di sepanjang jalan tersebut, apalagi bengkel. Yang ada hanya gubuk atau pondok-pondok yang dihuni penjaga kebun sawit. Itu pun hanya beberapa saja.

Di Pangkalan Indarung, ada sungai yang bersih  dan jernih. Salah satunya hulu Sungai Singingi.Tidak hanya itu. Ada sawah di tengah lembah, persis seperti cendawan yang tumbuh di tengah kuali besar. Hijau dan teduh. Ini pesona Pangkalan Indarung. Desa lama, ada sejak zaman Kerajaan Gunung Sahilan yang bermula sekitar abad 11 Masehi.

Banyak cerita yang muncul saat mengapa nama desa ini Pangkalan Indarung. Konon, menurut cerita orang-orang tua, zaman dulu ada seorang raja Dipertuan Gadis yang datang dari Kerajanaan Pagaruyung, Sumbar. Raja kemudian duduk di bawah sebuah pohon yang besar dan rimbun lalu dia mendengar ngiang sungai dan akhirnya sungai tersebut diberi nama sungai singingi yang berasal dari kata singiang-ngiang

Singiang-ngiang merupakan bahasa kampung Pangkalan Indarung yang berarti suara desahan air sungai yang deras. Karena pohon besar ini mempunyai dahan yang rimbun dan dalam bahasa kampungnya adalah naung, sehingga koto tadi yang merupakan pangkalan, kemudian disebut dengan Negeri Pangkalan Indaung. Raja kemudian membentuk penghulu adat dan ninik mamak di sana.

Kedatangan Raja Dipertuan Gadis ini juga disebut-sebut saat pembacaan sejarah Kerajaan Gunung Sahilan yang pewarisnya kembali ditabalkan beberapa tahun lalu. Tengku Muhammad Nizar, dialah pewaris kerajaan yang ditabalkan tersebut. Dengan demikian, Pangkalan Indarung merupakan desa atau wilayah yang sudah sangat lama keberadaannya.

Dari masa ke masa itu, masyarakat Pangkalan Indarung juga mengalami proses kehidupan dan berkampung yang beraneka ragam. Berpindah-pindah, tapi tetap dalam satu tanah. Dulu, Desa Pangkalan Indarung tidak berada di desa yang sekarang atau berada di tempat yang tinggi.

Datok Bandaro, Sugiro, yang merupakan Datok Pucuk di desa tersebut menceritakan, dulu masyarakat tinggal di bagian lembah, hutan yang rimbun dan rendah, di dataran sangat rendah. Tapi masyarakat tidak tenang, tidak lagi nyaman di sana karena selalu diganggu penghuni rimba, harimau. 

Mengapa harimau bisa terganggu, karena diundang oleh seseorang yang merasa sakit hati dengan salah satu warga yang kaya raya.

‘’Ada orang kaya. Takagh (takar) miliknya banyak berisi emas. Lalu, datang pemuda menjual tembakau. Karena tidak punya uang pas, pemuda itu dibayar dengan sebongkah emas yang diambil dari takagh. Pemuda itu sakit hati. Merasa terhina. Lalu ia menanam sesuatu di halaman orang kaya itu yang dimaksudkan untuk mengundang harimau,’’ cerita Datok Bandaro.

Setelah itu, setiap hari harimau datang ke kampung tersebut. Pagi, siang dan malam. Jejak dan suara-suaranya bermunculan. Orang kampung tak bisa berbuat apa-apa. Hanya berdiam di rumah. Tak berani  ke kebun atau ke ladang. 

Setelah merasa terancam, masyarakat bersepakat untuk pindah ke tempat yang lain. Kali ini di tepi sungai. Sungai yang airnya hingga saat ini masih sangat bersih.

Desa Pangkalan Indarung merupakan salah satu desa dari desa-desa yang berada di tepian Sungai Singingi. Desa-desa tersebut  di beri nama Antau Singingi dan semboyan yang selalu dijaga yaitu, Ba Bapak ka Pangkalan Indarung, Ba Ibu ka Tanjung Pauh, Ba Mamak ka Muaralembu di tanah Kojan".

Pepatah ini mempunyai arti bahwa apabila permasalahan yang ada desa-desa tersebut tidak dapat diselesaikan di daerahnya masing-masing, maka permasalahan tersebut diselesaikan di Muaralembu oleh mamak-mamak dari masing-masing yang bermasalah.

Selain semboyan Antau Singingi tersebut, adalagi sebuah sumpah dari hewan di tiga negeri yaitu, "harimau di padang loweh, tupai di manganti dan buayo disingingi.’’ Maksud dari sumpah ini adalah sebelum harimau di padang luas makan manusia maka tupai di manganti tidak akan memakan kelapa yang ditanam penduduk serta buaya di Singingi tak akan mengganggu dan memakan orang di Singingi. Orang yang dimaksudkan di sini yaitu putra asli daerah tersebut bukan orang pendatang dari daerah lain.

Sebelum adanya ninik mamak yang memangku adat, yang menjadi tokoh masyarakat yaitu dikenal dengan Datuk Banjar. Dalam pembentukan nama-nama tersebut dikenal ada sebuah pantun yang berbunyi;

Teratak, dusun
Koto nagori
Adat jo sarak tasusun
Bumi sonang padi manjadi

Maksud pantun ini yaitu apabila adat dan agama telah menjadi sumber hukum yang mengatur maka kehidupan akan senang dan tentram serta akan berjalan dengan baik.

‘’Setelah pindah ke tempat baru, yakni di seberang sungai, masyarakat merasa lebih aman. Tapi kemudian sering banjir. Banjir besar terjadi tahun 1998. Waktu itu parah sekali. Banyak rumah rusak. Ladang sawah habis. Sejak itu masyarakat bersepakat untuk pindah ke tempat yang baru lagi. Tempat baru itu, inilah yang kami tempati sekarang,’’ beber Datok Bandaro lagi.

Desa Pangkalan Indarung yang sekarang memang di atas bukit. Paling tidak jauh lebih tinggi dibandingkan tepian sungai. Jika dilihat dari kampung, hamparan sawah dan sungai yang membelah kawasan di tengahnya, terlihat dengan jelas. Itulah kampung mereka dulunya. Bekas-bekas pondasi rumah, bahkan makam-makam lama juga masih banyak yang tersisa di sana.

Lubuk Larangan
Di Singingi juga ada Lubuk Larangan, seperti beberapa daerah di Riau lainnya. Pada tahun 1982 Kepala Desa beserta masyarakat sepakat bahwa tidak dibolehkan menangkap ikan di Sungai Singingi tersebut. 

Siapa saja yang menangkap ikan di Lubuk Larangan tersebut baik ikan yang hidup maupun ikan yang telah mati akibat racun, akan dikenakan denda untuk 1 ekor ikan sebesar  Rp 500 ribu.

Mengapa ada Lubuk Larangan, karena waktu itu masyarakat belum memiliki sumur sehingga semua kebutuhan yang berhubungan dengan air seperti mandi, nyuci dan minum, langsung diambil dari sungai. Jadi, untuk menjaga kebersihan sungai maka dilakukanlah pelarangan tersebut.

Namun demikian, ikan di Lubuk Larangan tersebut tetap dipanen tapi hanya sekali setahun dan itupun untuk acara-acara besar seperti khatam Alquran dan saat Hari Raya Idul Adha. Alat yang digunakan antara lain seperti jala dan jaring agar kualitas air tetap terjaga. Setelah ditangkap kemudian dibagikan ke setiap kepala keluarga yang ada ataupun dimasak dan makan bersama di masjid.

Berbatas dengan Sumbar
Desa Pangkalan Indarung sangat dekat dengan Sumbar. Hanya dibatasi Bukit Barisan. Dulu, orang Sumbar datang ke Pangkalan Indarung hanya dengan berjalan kaki. 

Jualan sapi ke Riau lewat jalur setapak melintasi bukit itu. Sampai sekarang jalur itu pun masih ada, tapi jarang digunakan. Orang-orang yang suka berburu dan mencari kayu yang banyak menggunakan jalur ini.

Keberedaan jalur ini juga diceritakan Datok Bandaro. Ada orang Sumbar yang tinggal di Desa Ampalu, datang ke Pangkalan Indarung untuk berinduk kepada orangtuanya. Orang itu bernama Solam dan diberi gelar Datok Bertuah. Kenapa Datok Bertuah, memang ia diyakini sebagai orang bertuah atau termasuk orang sakti. Solam lalu lalang Sumbar-Pangkalan Indarung melalui jalur setapak, bahkan melewati daerah yang sangat ditakuti oleh masyarakat di kawasan tersebut.

Kawasan tersebut dulunya merupakan desa yang masyarakatnya pindah karena diserang oleh sekawanan harimau. Sampai sekarang, jika mendengar nama kampung tersebut, orang-orang seperti terperangah. Kawasan tersebut bernama Kujano atau Desa Kujano.

Solam yang sudah meninggal dan dimakamkan di Ampalu inilah yang bercerita tentang keberadaan Kujano tersebut. Cerita Solam didengar Datok Bandaro ketika dirinya masih kecil.

‘’Dulu orang Sumbar ke Pangkalan Indarung ini, hanya dengan berjalan kaki lewat jalur hutan. Sampai sekarang masih ada jalurnya. Memang benar-benar melewati hutan. Dulu banyak harimau. Makanya ada Desa Kujano yang sudah ditinggalkan masyarakatnya karena persoalan harimau, dan desa itu ada di antara Sumbar dengan desa Indarung ini. Dekat juga dengan desa-desa di Sungai Subayang,’’ beber Datok Bandaro lagi.

Sungai Sumber Kehidupan
Jalan-jalan sore di Desa Pangkalan Indarung, sangat asyik. Orang-orang lalu lalang. Orangtua, anak-anak, remaja dan semua masyarakat desa menuju sungai. Ada yang berjalan kaki, naik sepeda atau sepeda motor. Masing-masing mereka membawa ember kecil di tangannya dan handuk dikalungkan dileher atau ditutupkan ke kepala bagi perempuan. Mereka hendak mandi.

Hulu Sungai Singingi di desa tersebut sangat jernih dan bersih. Selain untuk mandi, di sungai inilah masyarakat mencuci pakaian. Aktifitas di sungai berlangsung sejak pagi bahkan hingga pangkal malam. Pagi mereka mandi dan mencuci. 

Siang juga ada yang mandi dan mencuci. Apalagi sore. Sangat ramai. Tempat mandi di sungai untuk perempuan tidak sama dengan lelaki. Masing-masingnya memiliki tepian yang berbeda. Di Indarung, sungai benar-benar merupakan sumber kehidupan. ***