
Penyair Fikar W Eda di Panggung Malam Kemanuaiaan, Doa dan Puisi di halaman Beskem Rumah Sunting Pekanbaru, Sabtu (29/11/2025). FOTO SUNTING
PEKANBARU (Sunting.co,id) - Penyair asal tanah Gayo, Takengon, Aceh, Fikar W Eda bersama istrinya Devie Matahari beserta keluarga, berencana pulang ke kampung halaman untuk melaksanakan kegiatan Festival Desember Kopi Gayo yang dilaksanakan setiap tahun. Perjalanan yang dimulai sejak 26 November dengan jalan darat itu, terhenti hanya sampai di Pekanbaru karena akses ke Takengon putus total akibat bencana alam.
Dua hari di Pekanbaru tanpa ada kabar berita dari keluarga di kampung, sangat meresahkan Fikar. Ia pun berniat menyelenggarakan doa bersama penyair dan masyarakat Gayo yang ada di Riau dan menyampaikan niat itu kepada seniman penyair Kunni Masrohanti yang juga pimpinan Komunitas Seni Budaya Rumah Sunting. Tanpa banyak cerita, Sabtu malam, 29 November kegiatan yang diberi nama Malam Kemanuaiaan, Doa dan Puisi bersama itu digelar di halaman beskem Rumah Sunting, Jalan Tigasari, Bukitraya.
Acara dilaksanakan dengan sederhana. Panggung kecil dengan latar kain hitam putih segitiga serta tulisan Doa dan Puisi, Malam Kemanuiaan, Hulu Budaya, Danau Lut Tawar, Masyarakat Adat dan lainnya, tertempel pada nampan dan digantung di antara panggung tersebut. Angin kencang dan gerimis sempat mewarnai acara yang usai hampir pukul 23.00 WIB tersebut.
Hadir para penyair dan seniman Riau, Aris Abeba, Fakhrunna MA Jabbar beserta istri, Hening Wicara, Husin dari Non blok Ekosistem, Azhar dari Komunitas Riau Sastra, Nena Padmah dari Teater Taksu, Asqalani dan Eko Ragil dari Competer, TBM Cahaya Rumah Kubang, Syafruddin Saleh Sei Gergaji yang juga memimpin doa, ketua masyarakat Gayo Riau H Mukhsin beserta beserta istri, Direktur Eksekutif Walhi Riau Eko Yunanda, RT beserta masyarakat sekitar beskem dan beberapa komuniktas lainnya.
‘’Mohon maaf karena memang acara ini sangat mendadak. Saya bilang sama Kunni tidak apa mendadak karena bencana juga datangnya mendadak. Niatnya pulang ke Takengon karena iven tahunan Festival Desember Kopi Gayo, tapi Allah berkehendak lain dan bersualah kita malam ini. Insyaallah besok pagi kami akan kembali ke Jakarta karena akses ke Takengon benar-benar putus, keluarga juga tidak ada yang bisa dihubungi. Semoga doa-doa dan dan apa yang kita hajatkan malam ini diijabah Allah,’’ kata Fikar malam itu.
Fikar juga menjelaskan kondisi kerusakan lingkungan di Takengon khususnya di sekitar Danau Lut Tawar, kampung halamannya serta lokasi Festival Desember Kopi Gayo selama ini. Diakuinya, kerusakan hutan dan alam terjadi di Takengon dan lokasi-lokasi bencana yang saat ini terjadi.
‘’Tidak semata bencana ini karena kondisi alam yang lagi ekstrem, tapi ada juga peran manusia di sana. Penebangan liar, pengrusakan hutan, penambangan emas dan sebagainya. Ya, masyarakatlah yang menerima padahnya,’’ kata Fikar yang kemudian membacakan puisinya.
Kegiatan Doa dan Puisi diawali dengan pemutaran video-video pendek yang tersebar di media sosial seperti Tik Tok, Facebook dan Instagram, baik video bencana di Aceh maupun di Sumatera Utara dan Sumbar. Sebagai Tuan Rumah atau pelaksana kegiatan, Kunni menyampaikan alasan mengapa video-video itu harus ditonton kembali.
‘’Apa yang kita tonton dan kita lihat dalam video-video bencana tersebut, menunjukkan betapa serakahnya manusia ingin mengusasi alam, hutan dan isinya. Bencana ini bukan terjadi begitu saja, tapi hasil dari apa yang sudah direncanakan dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada keadilan ekologis. Masyarakat yang menerima padahnya, khususnya masyarakat adat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Bukan hanya nyawa dan harta yang terancam, tapi kearifan lokal juga terancam sirna. Bencana ekologis yang menjadi bencana sosial. Hutan habis ditebang, air kehilangan tempat pulang, tanah kehilangan kekuatan untuk menahan dirinya, rakyat yang sengsara. Mari kita saling peduli. Tidak lagi soal suku, agama dan bahasa, tapi ini solidaritas, rasa kemanusiaan untuk kita saling peduli. Kita lakukan apa yang kita bisa untuk saudara-saudara kita,’’ kata Kunni yang juga aktivis lingkungan dan saat ini menjabat sebagai Dewan Daerah Walhi Riau.
Rasa haru menyelimuti segenap hadirin ketika Devie Mataharai, seniman dan penyair asal Bekasi membacakan puisi-puisinya tentang keirnduan dan kerisauan pada keluarga yang sampai saat ini belum bisa dihubungi di Takengon. Begitu juga ketika Hening Wicara membeberkan sebuah puisi yang dibacakannya tentang kekuatan tentara Allah mulai api dan air serta sebuah keikhlasan masyarakat dalam menjalani bencana.
Direktur Eksekutif Walhi Riau Eko Yunanda tidak membacakan puisi, tapi ia memberikan banyak pengetahuan, membuka fikiran bahwa semua masyarakat harus bergerak dan saling mengingatkan agar bencana alam tidak berulang. Walhi sendiri terus melakukan gerakan-gerakan penyelamatan lingkungan di tingkat tapak bersama masyarakat adat di seluruh Indonesia. Mengingatkan pemerintah secara berterusan agar tidak mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada keadilan ekologis.
‘’Bencana ekologis ini bukan hanya sekali terjadi, tapi berulang. Harusnya pemerintah belajar dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tepat, bukan karena keuntungan sepihak. Kalau sudah bencana siapa yang menderita, masyarakat yang menderita. Walhi selalu dan terus mengingatkan pemerintah, memperotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada lingkungan dan masyarakat,’’ kata Eko pula.(*)