MSR Gelar Bincang dan Aksi Solidaritas Penyair Dunia untuk Rempang

Senin, 11 September 2023

Peserta Bincang Rempang foto bersama.

PEKANBARU (Sunting.co.id) - Majelis Sastra Riau (MSR) menggelar Bincang dan Aksi Solidaritas untuk pulau Rempang yang diikuti penyair dan sastrawan dari berbagai negara di Anjungan Kampar, Pekanbaru, (Minggu, 10/9/2023). 

Kegiatan yang dilaksanakan secara daring dan luring  ini sebagai langkah awal menjelang penerbitan buku antologi puisi "Rempang Tanah Luka". 

Kunni Masrohanti, penggagas kegiatan yang juga salah satu keluarga besar MSR, menyebutkan, para penyair dari berbagai negara ini akan menulis puisi tentang pedih luka dan peristiwa yang sedang terjadi di Rempang tersebut. 

"Bincang Rempang ini sebagai wadah untuk menggali seluruh informasi tentang peristiwa Rempang, sekaligus sumber inspirasi dalam menulis puisi oleh para penyair nantinya. Ini peristiwa kemanusiaan yang menimpa masyarakat adat, maka semua orang harus peduli. Begitu juga penyair. Mereka menulis puisi yang nanti akan menjadi catatan penting bahwa hari ini ada peristiwa memilukan. Tentu penyair mencatat dan menulis dengan puisi," kata Kunni. 

Kunni juga menjelaskan, untuk Rempang tidak ada kata terlambat. Siapapun yang hendak membantu, inilah saatnya. Saat untuk membela hak-hak masyarakat. Makanya ia mengusulkan dan mengajak segenap keluarga besar MSR untuk menerbitkan buku puisi Rempang Tanah Luka. 

Pulau Rempang adalah pulau Melayu Tua di Kepulauan Riau, tepatnya di kawasan pesisir Kota Batam. Pulau ini akan dijadikan kota baru. Pemerintah mengalokasikan lahan seluas 17 ribu hektar kepada PT. Makmur Elok Graha (MEG) di Pulau Rempang untuk dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru Kota Batam. 

Daerah ini akan disulap menjadi daerah industri, pariwisata dan sektor lainnya. Ribuan jiwa dari 16 kampung ini akan direlokasi dan mereka melakukan penolakan. 

Penghinaan Besar
Tokoh masyarakat serantau yang tinggal di Kepri, Prof Dr Abdul Malik, yang menjadi salah satu narasumber melalui ruang Zoom, menyebutkan, masyarakat Rempang sudah ada sejak lama. Mereka merupakan keturunan laskar ternama sejak kerajaan Riau-Lingga berdaulat. 

"Bagaimana mungkin Rempang disebut sebagai pulau kosong. Masyarakat di sana ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Itu Tanah mereka. Mereka berdulat atas tanah itu. Bagaimana negara bisa mengusir dengan menyerang, menyemprotkan gas airmata kepada masyarakat bahkan anak-anak. Bagaimana mereka bisa mengatakan pulau itu kosong. Aneh. Sungguh ini penghinaan yang besar bagi Bangsa Melayu," kata Abdul Malik. 

Penduduk asli Rempang-Galang dan Bulang, kata Prof Malik yang juga disebar dalam tulisan sebelumnya,  adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I. 

Pada Perang Riau I (1782-1784) mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah. Dan, dalam Perang Riau II (1784–1787) mereka prajurit Sultan Mahmud Riayat Syah. 

Ketika Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah ke Daik-Lingga pada 1787, Rempang-Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga. Pemimpinnya Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman yang ditunjuk oleh Sultan Mahmud. 

Kala itu pasukan Belanda dan Inggris tak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau-Lingga. Anak-cucu merekalah sekarang yang mendiami Rempang-Galang. 

Tokoh masyarakat Riau, Hj Azlaini Agus SH MH yang juga menjadi narasumber malam itu, menyebutkan, ketika pemerintah mengambil tanah Rempang dari masyarakat yang sudah lama tinggal di sana,  sama artinya dengan menyakiti hati seluruh rakyat Indonesia. Apalagi masyarakat bukan menolak pembangunan atau investasi. 

"Masyarakat tidak menolak pembangunan atau investasi, mereka hanya minta jangan direlokasi. Direlokasi juga tidak jelas mau kemana, di mana, seperti apa. Ini manusia, bukan ayam. Fikirkan bagaimana nasib mereka. Direlokasi itu harus jelas dimana tempatnya. Ini kan tidak ada, tidak jelas," kata Azlaini. 

Hal Senada juga diungkapkan sastrawan Riau yang juga jurnalis, Kazzaini Ks. Kazzaini juga menjelaskan bagaimana orang-orang Rempang yang menggantungkan hidupnya kepada laut. 

"Orang Melayu Rempang tinggal di pesisir laut. Mereka tidak bisa jauh dari laut. Mau direlokasi kemana mereka. Sekarang mereka dipaksa pergi dari kampungnya sendiri. Itu menyakitkan dan membuat sakit semua orang Melayu. Solidaritas atas nama kemanusiaan melawan kezaliman ini harus terus dikuatkan," kata Kazzaini pula. 

Pada kesempatan itu, Kazzaini juga mengungkakan rasa kesalnya karena sampai hari ini tidak tokh Melayu di Kepri yang angkat bicara dengan lantangeada membela masyarakat Rempang.

"Kemana tokoh-tokoh Melayu Kepri, satu pun tak ada yng muncul, tak ada yang bicara, apalagi membela masyarakat Rempang," katanya.

Kegiatan Bincang Rempang yang dilaksanakan MSR ini mendapat dukungan penuh dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Walhi bukan hanya turut membeberkan kondisi Rempang yang sedang didampingi saat ini, tapi juga mensupport segenap kelengkapan selama Bincang Rempang berlangsung. 

Peserta Bincang Rempang yang berjumlah ratusan baik yang hadir di lokasi maupum zoom, berasal dari berbagai provinsi di Indonesia dan mancanegara. Ada dari Malaysia, Singapura, Timor Leste, Thailand dan Vietnam. Kegiatan ini juga diwarnai dengan tanya jawab dan pembacaan puisi oleh para penyair.(*)