Tiga Hari Pokdarwis Tanjung Beringin Dampingi Tim Jelajah Budaya Rumah Sunting

Selasa, 27 Desember 2022

Ketua Pokdarwis Desa Tanjung Beringin Felozen dan Founder Rumah Sunting Kunni Masrohanti. FOTO SUNTING

KAMPAR (Sunting.co.id) - Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, mendampingi tim Jelajah Budaya Komunitas Seni Rumah Sunting dari Pekanbaru, 24-26 Desember 2022. Selama tiga hari itu pula, sharing dan diskusi tentang wisata budaya terus dicuatkan.

"Kami sangat berterimakasih kepada Kak Kunni Masrohanti telah membawa tim Jelajah Budaya Rumah Sunting yang dipimpinnya datang ke Tanjung Beringin. Yang kami tahu, Rumah Sunting fokus kepada seni dan budaya. Sangat cocok dengan Tanjung Beringin yang kenyataannya memang sebagai desa adat dan fokus kami pada wisata budaya," kata Ketua Pokdarwis Tanjung Beringin, Falozen.

Diakui Falozen, Desa Tanjung Beringin merupakan desa tua yang awal mulanya bernama Malako Kociok. Kemudian berubah menjadi Miring, dan sekarang bernama Desa Tanjung Beringin.

Selain kaya dengan sejarah, satu-satunya desa yang berada di sebelah kanan sungai di sepanjang Sungai Subayang ini juga masih melaksanakan berbagai ritus dan kearifan lokal. Di antaranya Semah Rantau. Bahkan biaya untuk melaksanakan kegiatan tersebut dialokasikan dengan dana desa.

"Alhamdulillah, Desa Tanjung Beringin satu-satunya desa yang setiap tahun masih melaksanakan Semah Rantau. Tahun ini anggaran untuk pengadaan sapinya dialokasikan melalui dana desa," kata Falozen lagi.

Founder Rumah Sunting, Kunni Masrohanti, mengucapkan terimakasih kepada masyarakat Desa Tanjung Beringin, khususnya Pokdarwis yang mendampingi selama Jelajah Budaya dilaksanakan. Budayawan Riau ini juga menyampaikan rasa bangganya karena Semah Rantau masih terus dilaksanakan.

"Semah Rantau ini cara masyarakat berkomunikasi dengan alam sekitarnya, yakni dengan penghuni rimba dan sungai, harimau dan buaya, agar mereka tetap aman dan nyaman tinggal di sana. Masyarakat memotong sapi, kepalanya dilarungka ke sungai, jantung hatinya ke darat  dagingnya dimakan bersama seluruh masyarakat. Inilah simbol komunikasi itu, cara agar harmonisasi itu terus ada. Jadi, budaya dan kearifan lokal terpelihara, rimba raya terjaga kelestariannya. Ini baru Semah Rantau, belum lagi kearifan lokal lain yang masih dijaga sampai saat ini," kata Kunni pula.(*)