Kanal

Nongkah Spesial Kedua Rumah Sunting Bahas Peradaban yang Hilang di Danau PLTA

KAMPAR (Sunting.co.id) - Minggu (15/8), Komunitas Seni Rumah Sunting Pekanbaru kembali mengadakan Nongkah (Nongkrong Bertuah) Spesial dengan tema yang berbeda. 

Jika sebelumnya Rumah Sunting mengusung tema 'Kisah Cinta Istri Sang Raja Rokan' dengan destinasi Desa Cipang Kanan, Kabupaten Rokan Hulu, maka kali ini tema yang dipilih adalah 'Peradaban yang Hilang' dengan destinasi tempat wisata Talau Pusako. 

Talau Pusako merupakan salah satu destinasi wisata di Riau, yang berada di Desa Koto Mesjid, Kenegerian Pulau Gadang, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar. Tepatnya di kawasan Danau PLTA Koto Panjang. 

Bersama Datuk Syawir bergelar Datuk Tandiko atau yang lebih dikenal dengan sebutan Datuk Pucuk Adat Kenegerian Pulau Gadang, Rumah Sunting membahas tentang banyak hal tentang kampung-kampung lama yang dulu berada di bawah danau tersebut. 

Nongkah Spesial yang dipandu Kunni Masrohanti, founder of Rumah Sunting, sebagai host kali ini, memang sangat santai. Datuk Syawir dan Kunni duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu dengan latar belakang danau tersebut. 

Kunni mempertanyakan banyak hal. Mulai dari sejarah terbentuknya Danau PLPTA, proses pemindahan masyarakat kampung lama yang terendam ke tempat baru dan dampak sosial, psikologi hingga ekonomi masyarakatnya. 

''Saya ikut merasakan sendiri bagaimana kami harus pindah dari kampung tempat lahir kami ke tempat baru. Kalau soal penolakan, pasti ada. Gantirugi juga ada. Tapi kami sempat ketakutan apakah kami bisa tinggal di tempat baru itu,'' kata Datuk Syawir mengawali cerita. 

Saat itu tahun 1992. Syawir dan keluarganya, ayah ibunya, serta seluruh masyarakat kampung harus pindah. Sekitar seminggu truk mengangkut barang, kelyar masuk kampung. Satu keluarga satu truk. Apa yang bisa diangkut, dinaikkan dalam truk. atap rumah, kayu-kayu rumah lama dan semua yang bisa dibawa. 

''Bahkan keluarga kami harus membongkar makam datuk, ayah dan anak kami. Kami bawa serta pindah ke atas. Tapi makam leluhur lain, semua tinggal di bawah danau ini sampai sekarang. Sedih, waktu itu memang sedih. Meski rumah disiapkan, fasilitas disiapkan, kami dapat gantirugi, tapi ada yang hilang. Kami orang sungai, di tempat baru tak ada sungai. Benar jika adat tradisi sungai tidak bisa kami bawa, tidak bisa kami laksanakan lagi,'' sambung Syawir. 

Meski begitu, perpindahan ke tempat baru waktu itu disepakati dengan membawa seluruh adat dan tradisi kampung lama. Kecuali yang memang tidak bisa dibawa lagi. 

Warga Kenegerian Pulau Gadang dan warga desa-desa lainnya sudah 29 tahun tinggal di tempat baru. Setelah sekian lama, barulah masyarakat merasakan nikmatnya tinggal di sana. 

''Kami berkorban, merelakan kampung kami tenggelam untuk masyarakat Riau agar bisa menikmati fasilitas listrik. Waktu itu memang sangat sedih. Tapi lama-lama kemudian, bahkan sudah 29 tahun saat ini, masyarakat desa kami hidupnya sejahtera. Dulu di kampung bawah, jangankan mobil, motor saja tak ada. Hanya sepeda. Sekarang hampir semua sudah punya mobil. Meski kami akui, ada peradaban yang hilang,'' kata Datuk Syawir lagi. 

Saat ini, Danau PLTA telah  mengalirkan listrik dengan kapasitas 114 MW. Tidak hanya masyarakat Riau yang menikmati, tapi juga masyarakat provinsi lain tentu dengan sistem interkoneksi yang sudah dijalankan PT. PLN selama ini. Semua itu berkat pengorbanan masyarakat desa yang ada di bawahnya. 

Agar apa yang dikenang tidak hilang dari ingatan, Datuk Syawir dan keluarga membangun sebuah pulau yang dijadikan tempat wisata dengan nama Talau Pusako. Dua kata ini merupakan bahasa daerah XIII Koto Kampar. 

Talau bukan sembarang kata. Tapi salah satu lokasi di dekat Desa Pulau Gadang yang sekarang sudah tenggelam. Tempat ini merupakan tempat pelarian warga yang dikejar-kejar Belanda waktu itu. Dan, di tempat tersebut ada sebuah pohon Talau. 

Cerita itu sendiri didapat Syawir dari orangtuanya. Dia sendiri belum lahir ketika peristiwa itu terjadi. Sedangkan pusako memiliki arti pusaka. 

"Kami kembangkan ini menjadi tempat wisata dengan nilai-nilai sejarahnya yang mesti dirawat dan disampaikan kepada generasi berikutnya, agar tidak sia-sia dan hilang begitu saja," ungkap Datuk Aswir lagi. 

Nongkah Spesial berbentuk podcast ini akan disiarkan di platform media sosial Youtube Rumah Sunting dalam waktu dekat. Rumah Sunting berharap dengan adanya Nongkah Spesial ini, akan dapat berbagi lebih luas lagi tentang pengetahuan sejarah dan budaya, yang sejak dulu menjadi progran Komunitas Seni Rumah Sunting. 

''Meski pandemi, kami tetap melaksanakan Nongkah Spesial. Tentu dengan sangat terbatas dan tetap mematuhi protokol kesehatan. Semoga Rumah Sunting tetap hadir dan memberikan berbagai informasi tentang seni, budaya, kearifan lokal dan lainnya kepada masyarakat luas,'' jelas Kunni pula.(yjn

 

Ikuti Terus Sunting.co.id

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER